koleksi pribadi
Bulan buram terhadang rindang dedaun rambutan di atas perayun biru. Aku sendirian berayun-ayun perlahan, dan perayun berayun-ayun seperti bandul jam dinding tempo dulu. Waktu pun mengayun-ayunkan pikiranku padamu.
Oh iya, kamu masih ingat perayun besi bercat biru, ‘kan? Aku yakin, kamu pasti mengingatnya. Aku yakin, kamu pasti memiliki suatu kenangan di situ. Seperti juga aku, yang kini sedang sendiri, berayun-ayun dengan waktu seperti bandul jam dinding tempo dulu, dan berayun-ayun dengan ayumu, Lia.
Di perayun biru ini sosokmu begitu asyik memainkan benakku, yang sedang sendiri menikmati udara dan suasana sunyi. Maka kutuliskan sebuah pesan singkat, “Aku sedang menunggumu.”
Lalu kukirimkan ke nomor ponselmu. Ponsel bergetar, pesan tersampaikan dalam pelupuk mataku yang langsung tergambar wajahmu dan seluruh dirimu yang sedang berayun-ayun di perayun biru.
“Tunggu sebentar setelah angin ketiga mengusap hidungmu, Oji.” Kuingin begitu balasanmu.
Ah, biarlah itu inginku. Akan selalu kutunggu balasanmu sambil menatap rindang dedaun rambutan di atas perayun biru ini. Detik melaju, menit berlalu, jam pun menunggu. Belum juga datang balasan pesan singkat darimu. Mulai terasa kesendirianku ini, Lia.
*
Malam pertama menyambut musim minggu tenang sebelum ujian akhir sekolah. Aku tengah mengayunkan langkah menuju tempat di mana saja hati ini beringin.
“Di mana dirimu sedang berada, Lia?”
Aku menoleh ke arah perayun biru yang sayup-sayup memperdengarkan derit kumparannya. Perayun biru bergoyang perlahan. Kamu berada di situ seolah hendak menggoyang waktu agar lekas berlalu karena sepi seakan sedang mengejekmu.