Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berawal dari Kedai Kopi Paste

5 Februari 2016   02:13 Diperbarui: 5 Februari 2016   17:36 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah undangan dari Komunitas Kata Khayal masuk ke kotak surat elektronik (surel). Kubuka saja, apa isi undangan tersebut. “Minggu depan ada acara Kopi Darat di Kedai Kopi Paste, Mal Citraland, Jakarta Barat, untuk anggota Komunitas Kata Khayal yang berdomisili di Jabodetabek”. Di bagian bawah undangan tertera namamu sebagai ketua sekaligus pendiri komunitas.

Sarapan pagi berupa undangan, pikirku.

Tadi, sewaktu hendak berangkat ke kantor, aku memang tidak sempat bersarapan pagi. Menu andalanku sedang kosong di kios langgananku–sebuah kios kecil berdinding papan dan memakai dua roda. Menu itu adalah dua roti bulat berisi abon. Harganya Rp. 1.500,- per bungkus.

“Yang isinya selain abon, ‘kan, ada, Mas? Nih ada, isinya moka, coklat, selai nanas…”

“Nggak, ah. Kamu sudah hafal mauku, harusnya kamu simpan dong.”

“Iya kalau Mas kerja, lewat sini. Atau, nanti kupesankan yang isinya batu bata, ya?!”

“Ha-ha-ha-ha! Kenapa nggak sekalian isinya beton ready mix?!”

Tertawa pada pagi hari memang berdampak telak tetapi apa daya. Sudah menu andalan tidak tersedia, ditingkahi dengan canda. Terbiasa dengan bercanda dan mendapat sarapan, jelas, berbeda dengan bercanda tetapi tanpa mendapat sarapan.

Biasa, sih, bagi kalangan bawah semacam aku, mencandai lapar seolah tidak butuh makan. Dan, ini, sarapan saja menunya roti kayak orang bule. Dampak gemar nonton film Hollywood, ya? Bukan begitu. Kalau menunya nasi seperti umumnya, aku mudah kenyang. Kenyang pada pagi hari, bisa kontraproduktif. Kalangan bawah, kok, pakai istilah “kontraproduktif”?

Sudahlah, kulanjutkan lagi soal undangan yang di bagian bawah tertera namamu. Waktunya pkl. 19.00 WIB, atau aku sudah tidak berurusan dengan pekerjaan. Aku pasti hadir. Jarak antara Mal Citraland dan Gang Jablay–indekosanku–tidaklah jauh. Kalau malas berjalan kaki, ya, naik angkot. Cuma lima menit, kalau naik angkot. Artinya, tidak ada masalah dengan jarak.

Jelas tidak ada masalah dengan jarak. Ada yang lebih jauh, dan aku sudah beberapa kali ke sana, yaitu Taman Ismail Marzuki, tepatnya di PDS H.B. Jassin. Dari Jelambar–kelurahan yang melingkupi indekosanku–ke Cikini sana kutempuh dengan angkot dalam waktu yang tidak 5 menit, toh bukanlah ganjalan yang memanasi pantat. Lha, ini, cuma di Mal Citraland.

Yang kemudian kupikir bahwa undangan itu “wajib” untuk kuhadiri (terserah dengan deretan agenda acaranya) adalah lebih karena status  keanggotaanku yang secara resmi belum genap satu minggu ini di grup Komunitas Kata Khayal yang difasilitasi oleh Facebook. Padahal lebih dua tahun aku sering memajang cerita-cerita sesuka hatiku pada situs utama dengan domain sebuah perusahaan media besar berskala nasional. Perlu sosialisasi diri, menurutku.

Memang selama dua tahunan itu aku sengaja hanya mau memajang karya yang bisa dibaca oleh banyak orang yang jumlahnya jauh melampaui pembaca di blog-ku sendiri. Aku tidak lapar ketenaran (“popularitas”, istilah kerennya) tetapi sekadar hendak menampilkan cerita-cerita sesuka hati–mau dibaca atau tidak, ya, sesuka hati pembaca-lah.

Aku sadar diri sebagai seorang bukan penulis. Pekerjaanku sama sekali tidak berhubungan dengan tulis-menulis. Setiap hari menggambar rancangan kontum untuk perusahaan. Kemeja, kaus kerah, kaus oblong, celana, jaket , dan lain-lain. Menulis itu, bagiku, cuma kecelakaan yang kusengaja. Kecelakaan yang parah, aku ketagihan menulis. Kamu pasti tidak percaya. Memang aku tidak patut dipercaya. Percayalah.

Terlebih, yang sangat kuingat, baru bergabung satu hari, kamu langsung mengajukan pertemanan di akun-ku. Pertama dan satu-satunya cuma kamu. Luar biasa! Kamu tidak merasa tinggi hati; berharap anggota baru yang mengajukan pertemanan. Di situ tersering aku merasa heran sekaligus kagum padamu.

Kali ini, sebagai anggota baru di komunitasmu, aku pasti hadir. Aku ingin mengenal secara langsung, siapa kamu, selain namamu yang mentereng sebagai ketua sekaligus pendiri komunitas. Konsekuensi sebagai anggota baru, ‘kan, harusnya mengenal ketua bahkan pendiri komunitas, apalagi soal jarak dan waktu sangat tidak bisa dijadikan alasan? 

“Nah!” Suara keras seorang rekan disertai suara benturan tas dan kursi di samping mengagetkanku. “Pagi-pagi sudah ngalamun! Orang kalau mau kerja, semangatnya jelas. Ini malah ngalamun, kayak baru ditinggal mati kucing kesayangan saja.”

“Brengsek, ah!” Aku tetap menghadap komputer meja. “Pagi-pagi sudah brengsek, bukannya datang menyodorkan kopi!”

“Senam jantung, Bangbro. Ngalamun bisa mengurangi ritme detak jantung.”

“Kata siapa, ngalamun bisa mengurangi detak jantung?”

“Kataku-lah! Adanya cuma aku di sampingmu.”

“Ah, brengsek yang ketiga!”

“Lho, yang kedua, apa? 

“Nggak ngasih kopi.”

Rekanku langsung membuka tasnya. Terdengar suara kresek-kresek. Dan tiba-tiba rekanku melemparkan satu renteng kopi sasetan ke mejaku.

“Nih, kopinya! Jangan nambah-nambahin jadi brengsek lho, ya?!”

“Yang sudah di cangkir, asapnya masih mengepul-ngepul dong.”

“Lu anggep gue opis boi?! Lu kire gue kemaruk, ngambil kerjaan orang?! Sori! Ganteng-ganteng begini aku tahu diri, Bung!”

“Ganteng-ganteng kucing garong. Ha-ha-ha-ha!” 

*

Kedai Kopi Paste, Mal Citraland, pkl. 18.40 WIB. Sebuah poster terpampang dengan satu nama yang tulisannya paling besar, “Komunitas Kata Khayal”. Juga, di bawahnya, meja dan kursi tersusun memanjang. Di situ tampak beberapa orang. Laki-laki dan perempuan. Ada yang melihat-lihat daftar menu pada sebuah album katalog. Ada yang ngobrol serius. Ada yang sibuk mengutak-atik gadget. 

Poster semacam itu mengingatkanku pada masa lampaui, semasa masih berstatus mahasiswa. Aku membantu komunitas kawan dengan membuat poster “Menulis Mengubah Dunia”. Sangat bombastis. Tapi memang itu yang dulu disukai. “Mengubah Dunia” meski diri sendiri masih belum jelas perubahannya, selain naik status, dari pelajar menjadi mahasiswa.

Sambil mengenang masa mahasiswa, aku celingak-celinguk seolah pengunjung biasa di depan sebuah kafe minuman lainnya. Sengaja mau mendinginkan suhu tubuh sebab tadi aku datang dengan hanya berjalan kaki melewati jalan aspal alternatif yang bersebelahan langsung dengan sebuah parit agak lebar di belakang Mal Citraland. Lumayan berkeringat juga, meskipun jalan sekitar sana sudah terlihat dua-tiga perempuan yang akan merentalkan panasnya gelora badan bersama pasangan mereka.

Dari celingak-celinguk itu, terkadang aku melirik ke Kedai Kopi Paste. Satu per satu atau dua-tiga orang masuk. Sendiri, berpasangan, atau bertiga. Mulai jelas bakal ramai acara itu tetapi aku masih melirak-lirik dulu.

Cukup dengan melirak-lirik, berpura-pura, dan menunggu saat yang pas untuk menemukan target. Siapa lagi yang sebenarnya menjadi target utama lirikanku, kalau bukan kamu sang ketua sekaligus pendiri komunitas? Tetapi, sekilas lirikan, aku tidak menemukan kamu.

Aku menunduk, dan melihat arloji. Baru jam 18.48 WIB. Barangkali kamu memang orang yang selalu tepat waktu. Barangkali kamu sedang berada dalam kepadatan lalu-lintas. Maklum, malam Minggu, dan tanggal muda. Kepadatan akan terasa lebih dari biasa.

Aku mendongak lagi. Kumasukkan kedua telapak tangan ke saku depan celana, lalu berjalan lamban sambil berpura-pura menikmati panorama barang dagangan dan para pengunjung beraneka bentuk.

Mataku menangkap keberadaanmu di antara para pengunjung. Kamu dan tiga orang lagi. Kamu berkaus oblong merah cerah (ah, secerah wajahmu yang alangkah cantikmu) dengan lingkar kerah agak rendah. Tiga orang di kanan-kirimu, perempuan, dengan busana lengkap, krem, biru pupus, dan modis juga. Kaus oblong merahmu sangat mencolok.

Aku yakin itu kamu karena, ketika membuka internet di kantor, aku selalu menyimak untuk bisa menghafal sosok sang ketua sekaligus pendiri, penampilanmu yang sering cuma ber-selfie dan terpajang di akun media sosialmu. Dengan rambut lurus sebahu, kulit putih-mulus, dan gerak-gerikmu lincah seperti kelincahanmu mengomentari pajangan para anggota komunitas.

Soal kecantikanmu, bukanlah hal yang asing bagiku. Di kampung halamanku, Sri Pemandang Atas atau di Bangka, aku terbiasa menyatu dengan orang Tionghoa. Beberapa tetanggaku adalah orang Tionghoa turun-temurun. Kawan-kawan sekolahku, sejak TK sampai SMP, mayoritas Tionghoa. Nah, apa lagi, yang asing bagiku?

Tidak ada yang asing. Tapi dengan adanya tiga perempuan di antara kamu, jelas menegaskan keberadaanmu. Tidak salah lagi, itu kamu. Orientalis sejati terpahat pada kedua matamu, rambut lurus, bahkan warna kulitmu yang putih mendekati pucat.

Aku memang hafal penampilanmu. Kalau rekanku berada di sampingku, aku seolah hanya membuka beranda kawan sekolahku yang selalu memajang foto-foto tamasyanya di pantai-pantai Sungailiat selagi liburan, yang jelas membuat aku selalu ingin mudik dan menikmati kembali pantai-pantai di kampung halamanku. Kalau rekanku tidak berada di samping, pasti aku akan mencari sosokmu, yang tentunya selalu muncul foto profilmu dengan sebuah tato mahkota di antara tengkuk dan punggung putih-mulusmu. 

Sebuah penanda yang sangat jelas-tegas-tandas : bidang kulit putih-mulus bertato mahkota yang khas. Sekilas saja akan terlihat. Memang, sih, agak kurang jelas apabila dilihat dari bidang layar ponsel. Tapi kalau secara langsung, rupa tato mahkota yang kontras pasti secepat kilat menyambar mata.

Menurutku, kamu bukanlah perempuan sembarangan. Pertama-tama, dengan bangga memamerkan tato dengan kemulusan yang menggetarkan dadaku (sinyal di dadaku terlalu kuat menangkap tanda, ya?). Padahal, para perempuan lainnya, yang sesama anggota, tidak ada yang seperti itu.

Kedua, tato bergambar sebuah mahkota. Betapa tidak sembarangan dirimu. Mahkota tidak pernah berada di bagian tubuh itu, selain kepala. Tapi kalau mahkota itu dipasang di keningmu, bisa runyam juga, ya, penampilanmu? Makanya, itu kuanggap kamu bukanlah perempuan sembarangan. 

Tapi sebentar. Biar kamu dan ketiga perempuan itu masuk ke Kedai Kopi Paste, dan aku bisa membuktikan keyakinanku melalui tato mahkotamu. Sedikit sabar saja, kukira. Seperti sedikit gula untuk secangkir kopi, terasa sedapnya.

Nah, benar, kamu. Sebuah tato mahkota terpampang jelas dan menggemaskan pada bidang putih-mulus ketika kalian sudah memasuki Kedai Kopi Paste! Akhirnya aku bisa berjumpa langsung dengan kamu. Oh, betapa senangnya aku!

Aku menunduk lagi untuk melihat arloji. Tepat jam 19.00 WIB. Tuduhanku tadi, bahwasannya kamu memang orang yang selalu tepat waktu, ternyata tidak meleset.

Kini giliran aku, menyusulmu. Kalau suka berhitung, jelas aku tidak tepat waktu. Kelewatan 3-5 menit. Biarlah kalau aku dianggap ngaret sebab toh bersamaan denganku juga lebih dari lima orang. Entah sebagai anggota, ataukah sekadar menemani anggota. Yang jelas, aku telat, dan ruangan pasti akan sangat ramai.

Dalam ruangan Kedai Kopi Paste masing-masing menempatkan pantat di kursi-kursi yang tersedia. Tidak lupa, seperti murid-murid di sebuah kelas, disebut namanya satu per satu, dan memerkenalkan diri. Dari situlah aku baru mengetahui, itu yang namanya si anu yang selalu memajang puisi, si apa yang suka bercanda, si entah yang suka porno-pornoan, dan seterusnya.

Sayangnya, aku tidak kebagian kursi. Aku celingukan lagi, mencari kursi kosong yang bisa kuambil untuk duduk bersama dengan mereka. Perasaanku mulai dihasut malu.

“Lho, Mas, kehabisan kursi?” Suaramu mengembalikan pandanganku ke arah kumpulan.

“Iya.” 

“Mas sudah mendaftar, belum?”

“Mendaftar? Mendaftar apa?”

Lalu kulihat kamu berbisik dengan orang di kanan-kirimu. Sesekali kamu dan orang di kanan-kirimu melirik ke arahku. Sesekali pula kutangkap suatu tatapan yang asing. Aku langsung benar-benar merasa malu, ditambah bonus segepok grogi dan segenggam rasa tidak nyaman.

Ah, sialan, aku kurang lengkap membaca undangan itu. Ternyata ada pendaftaran ulangnya. Mungkin untuk memastikan anggota yang akan hadir, memudahkan pemesanan ruang, dan kelengkapan lainnya. Ini jelas dosa besar rekan kerjaku, yang sering membuat aku tidak lengkap setiap membaca berita, termasuk undangan via internet lantaran rekanku selalu mengingatkan “ingat, bos sudah melarang karyawan bermain-main dengan fasilitas internet kantor; apa kamu mau mendapat SP3.”.

“Maaf, ini acara apa, ya?” Aku pura-pura tidak tahu supaya bisa terhindar dari ketidaknyamanan yang miris-kronis, dan bisa keluar dari sini dengan cara sewajarnya tanpa disertai isak-tawa yang menggemparkan dunia.

“Komunitas Kata Khayal,” jawab beberapa orang secara serentak.

“Oh, maaf, kukira ada presentasi bisnis MLM ‘Berani Utang Tentu Menantang’. Aku salah masuk. Maaf.”

Seketika aku berbalik ke arah luar ruangan dengan keringat dingin yang mendadak seperti banjir bandang di beberapa bagian tubuhku. Rasanya aku ingin pulang ke Bangka, dan meluapkan segala malu pada karang-karang granit di sekujur pesisirnya.

*******

Kebun Karya & Panggung Renung – Balikpapan, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun