Dari celingak-celinguk itu, terkadang aku melirik ke Kedai Kopi Paste. Satu per satu atau dua-tiga orang masuk. Sendiri, berpasangan, atau bertiga. Mulai jelas bakal ramai acara itu tetapi aku masih melirak-lirik dulu.
Cukup dengan melirak-lirik, berpura-pura, dan menunggu saat yang pas untuk menemukan target. Siapa lagi yang sebenarnya menjadi target utama lirikanku, kalau bukan kamu sang ketua sekaligus pendiri komunitas? Tetapi, sekilas lirikan, aku tidak menemukan kamu.
Aku menunduk, dan melihat arloji. Baru jam 18.48 WIB. Barangkali kamu memang orang yang selalu tepat waktu. Barangkali kamu sedang berada dalam kepadatan lalu-lintas. Maklum, malam Minggu, dan tanggal muda. Kepadatan akan terasa lebih dari biasa.
Aku mendongak lagi. Kumasukkan kedua telapak tangan ke saku depan celana, lalu berjalan lamban sambil berpura-pura menikmati panorama barang dagangan dan para pengunjung beraneka bentuk.
Mataku menangkap keberadaanmu di antara para pengunjung. Kamu dan tiga orang lagi. Kamu berkaus oblong merah cerah (ah, secerah wajahmu yang alangkah cantikmu) dengan lingkar kerah agak rendah. Tiga orang di kanan-kirimu, perempuan, dengan busana lengkap, krem, biru pupus, dan modis juga. Kaus oblong merahmu sangat mencolok.
Aku yakin itu kamu karena, ketika membuka internet di kantor, aku selalu menyimak untuk bisa menghafal sosok sang ketua sekaligus pendiri, penampilanmu yang sering cuma ber-selfie dan terpajang di akun media sosialmu. Dengan rambut lurus sebahu, kulit putih-mulus, dan gerak-gerikmu lincah seperti kelincahanmu mengomentari pajangan para anggota komunitas.
Soal kecantikanmu, bukanlah hal yang asing bagiku. Di kampung halamanku, Sri Pemandang Atas atau di Bangka, aku terbiasa menyatu dengan orang Tionghoa. Beberapa tetanggaku adalah orang Tionghoa turun-temurun. Kawan-kawan sekolahku, sejak TK sampai SMP, mayoritas Tionghoa. Nah, apa lagi, yang asing bagiku?
Tidak ada yang asing. Tapi dengan adanya tiga perempuan di antara kamu, jelas menegaskan keberadaanmu. Tidak salah lagi, itu kamu. Orientalis sejati terpahat pada kedua matamu, rambut lurus, bahkan warna kulitmu yang putih mendekati pucat.
Aku memang hafal penampilanmu. Kalau rekanku berada di sampingku, aku seolah hanya membuka beranda kawan sekolahku yang selalu memajang foto-foto tamasyanya di pantai-pantai Sungailiat selagi liburan, yang jelas membuat aku selalu ingin mudik dan menikmati kembali pantai-pantai di kampung halamanku. Kalau rekanku tidak berada di samping, pasti aku akan mencari sosokmu, yang tentunya selalu muncul foto profilmu dengan sebuah tato mahkota di antara tengkuk dan punggung putih-mulusmu.Â
Sebuah penanda yang sangat jelas-tegas-tandas : bidang kulit putih-mulus bertato mahkota yang khas. Sekilas saja akan terlihat. Memang, sih, agak kurang jelas apabila dilihat dari bidang layar ponsel. Tapi kalau secara langsung, rupa tato mahkota yang kontras pasti secepat kilat menyambar mata.
Menurutku, kamu bukanlah perempuan sembarangan. Pertama-tama, dengan bangga memamerkan tato dengan kemulusan yang menggetarkan dadaku (sinyal di dadaku terlalu kuat menangkap tanda, ya?). Padahal, para perempuan lainnya, yang sesama anggota, tidak ada yang seperti itu.