Yang kemudian kupikir bahwa undangan itu “wajib” untuk kuhadiri (terserah dengan deretan agenda acaranya) adalah lebih karena status keanggotaanku yang secara resmi belum genap satu minggu ini di grup Komunitas Kata Khayal yang difasilitasi oleh Facebook. Padahal lebih dua tahun aku sering memajang cerita-cerita sesuka hatiku pada situs utama dengan domain sebuah perusahaan media besar berskala nasional. Perlu sosialisasi diri, menurutku.
Memang selama dua tahunan itu aku sengaja hanya mau memajang karya yang bisa dibaca oleh banyak orang yang jumlahnya jauh melampaui pembaca di blog-ku sendiri. Aku tidak lapar ketenaran (“popularitas”, istilah kerennya) tetapi sekadar hendak menampilkan cerita-cerita sesuka hati–mau dibaca atau tidak, ya, sesuka hati pembaca-lah.
Aku sadar diri sebagai seorang bukan penulis. Pekerjaanku sama sekali tidak berhubungan dengan tulis-menulis. Setiap hari menggambar rancangan kontum untuk perusahaan. Kemeja, kaus kerah, kaus oblong, celana, jaket , dan lain-lain. Menulis itu, bagiku, cuma kecelakaan yang kusengaja. Kecelakaan yang parah, aku ketagihan menulis. Kamu pasti tidak percaya. Memang aku tidak patut dipercaya. Percayalah.
Terlebih, yang sangat kuingat, baru bergabung satu hari, kamu langsung mengajukan pertemanan di akun-ku. Pertama dan satu-satunya cuma kamu. Luar biasa! Kamu tidak merasa tinggi hati; berharap anggota baru yang mengajukan pertemanan. Di situ tersering aku merasa heran sekaligus kagum padamu.
Kali ini, sebagai anggota baru di komunitasmu, aku pasti hadir. Aku ingin mengenal secara langsung, siapa kamu, selain namamu yang mentereng sebagai ketua sekaligus pendiri komunitas. Konsekuensi sebagai anggota baru, ‘kan, harusnya mengenal ketua bahkan pendiri komunitas, apalagi soal jarak dan waktu sangat tidak bisa dijadikan alasan?
“Nah!” Suara keras seorang rekan disertai suara benturan tas dan kursi di samping mengagetkanku. “Pagi-pagi sudah ngalamun! Orang kalau mau kerja, semangatnya jelas. Ini malah ngalamun, kayak baru ditinggal mati kucing kesayangan saja.”
“Brengsek, ah!” Aku tetap menghadap komputer meja. “Pagi-pagi sudah brengsek, bukannya datang menyodorkan kopi!”
“Senam jantung, Bangbro. Ngalamun bisa mengurangi ritme detak jantung.”
“Kata siapa, ngalamun bisa mengurangi detak jantung?”
“Kataku-lah! Adanya cuma aku di sampingmu.”
“Ah, brengsek yang ketiga!”