Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berawal dari Kedai Kopi Paste

5 Februari 2016   02:13 Diperbarui: 5 Februari 2016   17:36 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedua, tato bergambar sebuah mahkota. Betapa tidak sembarangan dirimu. Mahkota tidak pernah berada di bagian tubuh itu, selain kepala. Tapi kalau mahkota itu dipasang di keningmu, bisa runyam juga, ya, penampilanmu? Makanya, itu kuanggap kamu bukanlah perempuan sembarangan. 

Tapi sebentar. Biar kamu dan ketiga perempuan itu masuk ke Kedai Kopi Paste, dan aku bisa membuktikan keyakinanku melalui tato mahkotamu. Sedikit sabar saja, kukira. Seperti sedikit gula untuk secangkir kopi, terasa sedapnya.

Nah, benar, kamu. Sebuah tato mahkota terpampang jelas dan menggemaskan pada bidang putih-mulus ketika kalian sudah memasuki Kedai Kopi Paste! Akhirnya aku bisa berjumpa langsung dengan kamu. Oh, betapa senangnya aku!

Aku menunduk lagi untuk melihat arloji. Tepat jam 19.00 WIB. Tuduhanku tadi, bahwasannya kamu memang orang yang selalu tepat waktu, ternyata tidak meleset.

Kini giliran aku, menyusulmu. Kalau suka berhitung, jelas aku tidak tepat waktu. Kelewatan 3-5 menit. Biarlah kalau aku dianggap ngaret sebab toh bersamaan denganku juga lebih dari lima orang. Entah sebagai anggota, ataukah sekadar menemani anggota. Yang jelas, aku telat, dan ruangan pasti akan sangat ramai.

Dalam ruangan Kedai Kopi Paste masing-masing menempatkan pantat di kursi-kursi yang tersedia. Tidak lupa, seperti murid-murid di sebuah kelas, disebut namanya satu per satu, dan memerkenalkan diri. Dari situlah aku baru mengetahui, itu yang namanya si anu yang selalu memajang puisi, si apa yang suka bercanda, si entah yang suka porno-pornoan, dan seterusnya.

Sayangnya, aku tidak kebagian kursi. Aku celingukan lagi, mencari kursi kosong yang bisa kuambil untuk duduk bersama dengan mereka. Perasaanku mulai dihasut malu.

“Lho, Mas, kehabisan kursi?” Suaramu mengembalikan pandanganku ke arah kumpulan.

“Iya.” 

“Mas sudah mendaftar, belum?”

“Mendaftar? Mendaftar apa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun