Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Tentang Kerajaan Naga

14 Januari 2016   00:35 Diperbarui: 14 Januari 2016   00:35 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekelompok naga–istilah untuk ular-ular raksasa yang diketahui sekumpulan masyarakat yang tinggal pada jarak tempuh setengah hari–menghuni bahkan mengistanai sebuah gunung selama berabad-abad. Gunung itu pun telah lama mati. Hamparan hijau menyelimutinya. Apakah kau pernah melihat bahkan mendakinya?

 

Malam yang legam mencekam, kadang tercoreng sesaat oleh celorot lidah api di puncak gunung. Apalagi menjelang malam purnama sempurna yang merangkaki lerengnya. Bulan bagai ratu yang akan naik tahta. Bersemburlah lidah api sebagai sambutannya. Sementara di langit, beberapa naga melenggak-lenggok seolah menari sembari menyemburkan api, selanjutnya menuju purnama hingga moksa.

 

Ketika fajar menyingsing, kabut pekat membungkus rapat seluruh tubuh gunung itu. Suasana sangat lengang. Ketika fajar merekah para binatang terbang tampak riang memutari wilayahnya. Dari jarak tempuh satu hari penampilan gunung mati itu sebegitu menjulang dan sebetapa gagah dengan jubah keunguan berlatar langit sepenuh biru di terik matahari.

 

Sebenarnya tidaklah keunguan pada sekujur tubuhnya jika kau menuju ke arah gunung mati itu. Melainkan ada semacam jalan yang berkelok dan sebagian melingkar. Tanah lereng gundul, ilalang raksasa terkapar menguning, semak-belukar rebah nan kerontang, pepohonan menguak seperti lorong, atau tetumbuhan tergilas dan tergusur oleh benda-benda berat.

 

“Jalan para naga”, begitu kepercayaan masyarakat. Jalan itu sudah ada sebelum masyarakat membuka hutan-hutan di sekitar kaki gunung mati itu sampai membatasi diri serta menyebut rimba sekitar kaki gunung sebagai rimba larangan. Kau boleh saja tidak percaya atau tidak peduli pada sebutan “rimba larangan” yang sejatinya adalah pelataran kerajaan naga, tetapi cerita masyarakat sana bukanlah isapan jempol belaka.

 

*

 

Cerita tentang kerajaan naga di sebuah gunung mati sebenarnya milik masyarakat turun-temurun di sana. Sengaja diceritakan kembali di sini supaya kau bisa menambah wawasan mengenai semesta raya yang sama sekali belum dijelajahi bahkan dijajaki oleh manusia rakus. Patut kau ingat, makhluk tersebut adalah naga, bukan sekadar ular raksasa.

 

Sebelum sekelompok masyarakat, yang waktu itu hanya sekitar lima belas kepala keluarga, menyebut “pelataran kerajaan naga” alias “rimba larangan”, tentu saja sekilas berupa rimba belantara biasa. Hutan adalah habitat semesta yang menghidupi sekelompok masyarakat itu. Bagi mereka, hutan adalah ibu yang memberi mereka makan-minum melalui binatang yang merayap, merangkak atau melompat di tanah; binatang yang berenang dan menyelam di air; binatang yang terbang atau melayang-layang di udara dan di antara pepohonan; tetumbuhan yang berbuah, bermadu dan berair.

 

Mereka membangun pondok-pondok di atas pepohonan yang berdekatan dengan aliran sungai atau sumber mata air. Untuk keluarga yang memiliki kakek-nenek renta, pondoknya berpanggung dengan ketinggian dua orang dewasa. Jarak antarpondok pohon mereka tidaklah berdekatan. Mereka bisa berkumpul bila ada suatu kerja bersama, misalnya membuka daerah baru atau mandi di sebuah sungai.

 

Dalam pengerjaan pondok, tak jarang mereka menemukan seonggok tengkorak beserta tulang belulang manusia. Bentuknya membujur dengan kedua tulang lengan di sisi-sisinya. Tak ayal mereka segera menimbun serta memberi tanda. Mereka menduga-duga, wilayah itu pernah dijajaki orang-orang.

 

*

 

Cerita tentang naga dan kerajaannya berawal pada suatu waktu beberapa lelaki sedang membakar hutan untuk membuka daerah baru. Mereka tetap berjaga-jaga di sekitar jilatan api agar api tidak menjalar liar sampai ke mana-mana bahkan pondok-pondok mereka.

 

Seekor ular seukuran lengan pemuda keluar dari api dengan sebagian tubuh terbakar. Lepas dari perapian, ular itu menggelepar seakan hendak mengelupasi kulit hangusnya. Kebetulan seorang pemuda menemukan ular itu lantas menghajarnya, dan memasukkannya kembali ke api. Maksudnya, untuk dijadikan santapan ringan.

 

Betapa ia terperanjat begitu ular tersebut ditariknya ke luar perapian. Di kepala ular itu terdapat tanduk kecil, sungut-sungut di sekitar mulut, dan empat kaki di batang tubuhnya. Spontan ia memanggil kawan-kawannya. Demi melihat temuannya, seketika mereka mengenali ular itu sebagai anak naga. Mungkin suatu kebetulan, begitu kesimpulan mereka.

 

Mungkin suatu kebetulan. Juga seperti ketika para perempuan sedang mencuci dan mandi di sungai. Dari arah hulu terdengar suara ranting dan semak yang berisik. Disusul gemericik aliran yang telah berirama gemuruh. Tadinya mereka mengira, banjir bandang sedang melanda. Mereka segera beranjak. Dengan penutup tubuh seadanya mereka berlarian ke tanah yang lebih tinggi.

 

Di sana mereka berhenti, dan berbalik pandang ke arah sungai. Tubuh mereka kaku dan pikiran beku manakala terlihat beberapa ular sebesar paha berduyun-duyun menyusuri sungai ke arah hilir. Ular-ular bertanduk, bersungut, bersirip, berkaki, dan berekor aneh!         

 

*

 

Naga masih menjadi tokoh misteri dalam dongeng-dongeng pengantar tidur bagi anak-anak balita mereka di bilik pondok-pondok. Ayah-ibu dan kakek-nenek masih menjadikan naga sebagai sosok mitos dan sesepuh dalam kisah keramat adat untuk menggelarkan seseorang sebagai tokoh sakti yang pantas disegani. Semisal, kisah seorang kakek yang menangkap petir, yang ternyata adalah seekor naga dalam ukuran sedang. Atau halilintar yang menyambar sebatang pohon menjulang, yang sampai ke tanah lalu bergulung-gulung, meliuk-liuk, menerkam pohon lainnya dan akhirnya kembali melesat sambil tetap meliuk-liuk.

 

Demikian juga sewaktu beberapa lelaki memotong pohon yang rebah seukuran satu pelukan. Sekujur batang berbalut benalu. Pasti sudah lapuk. Pasti lebih mudah memotongnya. Tapi mereka langsung melotot ketika alat pemotong mengoyak sedalam setengah jengkal. Koyakan mengeluarkan darah, dan batang itu menggelinjang seakan meradang.

 

Mirip dengan cerita para penjaga kebun. Tanaman mereka tengah menampakkan hasil, yang artinya bakal menjadi bancaan binatang liar kelaparan. Bersandarkan sebatang pohon menghadap api unggun yang menyisakan bara, mereka terlelap. Keributan penghuni hutan membangunkan mereka. Mereka kaget karena batang sandaran sudah tidak ada. Bangkit dan bergegaslah mereka meninggalkan kebun pada tengah malam itu juga.

 

*

 

Apabila naga sedang lapar, tiada seorang pun pernah menyangka sebelumnya. Termasuk dua pemuda yang sedang berburu di saat sinar matahari sedang dibendung mendung di atas hutan. Keduanya heran begitu melihat pepohonan dan semak belukar bergerak-gerak oleh hembusan angin kencang. Lalu dedaunan dan beberapa binatang seukuran separuh tubuh pemuda terbawa oleh hisapan angin ke suatu arah.

 

Dengan mengendap-endap dan berbelok, mereka mencari ke mana semua itu terbawa. Sesampai di tempat tujuan, tampaklah nganga mulut ular raksasa bertanduk. Segera keduanya menyingkir, dan memilih pulang saja meski belum mendapatkan hasil.

 

Dalam perjalanan pulang keduanya melintasi sebuah pohon besar nan menjulang. Yang membuat mereka berhenti sejenak adalah keadaan di bawah pohon. Tidak ada dedaun, reranting, dan tanaman semak. Permukaan tanah begitu jelas terlihat. Pandangan mereka memanjati batang pohon itu. Kedua mulut mereka langsung melongo begitu terlihat seekor ular besar sedang melingkar di sana. Dalam sekejap mereka lari tunggang-langgang.

 

*

 

Berburu memang dunia laki-laki. Di kaki gunung mati itu tiga pemuda lainnya sedang berburu. Mereka berpencar untuk mempermudah perburuan. Sementara bendungan mendung terpanggang matahari. Mencairlah, dan mengguyuri hutan dan sampai puncak gunung mati. Mereka mencari tempat berteduh.

 

Satu orang menemukan sebuah gua dengan langit-langit yang nyaris tidak terjangkau oleh tangannya. Setelah menancapkan alat berburu di sisi gua kecil itu, segera ia duduk dan menghela nafas. Ia hendak bersandar. Belum sempat ia bersandar, sekonyong-konyong mulut gua mengatup.

 

Dua kawannya menemukan gua-gua yang lain. Satunya meletakkan senjata kayu panjang secara tegak dari dasar ke langit gua. Sebentar ia pergi mencari ranting yang mungkin masih kering untuk dijadikan api unggun. Ranting-ranting pun diperolehnya tetapi gua tadi telah lenyap, kecuali semak terkuak seolah jejak ular raksasa.

 

Sedangkan kawan satunya sudah membuat api unggun. Tubuhnya gemetaran menahan angin basah yang mengalirkan gigil. Ia masih gemetar ketika merasa rongga goa bergetar dan bergerak-gerak. Sempat dikiranya gua bakal ambruk, sedang gempa, ataukah terjadi longsor. Segera ia keluar sambil berlari kencang. Sesekali ia menoleh ke arah gua. Langkahnya terhenti sewaktu dilihatnya mulut gua bergerak liar beserta sebuah bentuk bulat besar memanjang.

 

Ia pun berteriak memanggil kawan-kawannya. Satu kawannya tadi mendengar, dan mendekati sumber teriakan. Mereka bertemu sekaligus saling menanyakan, di mana kawan mereka satunya. Sambil melangkah lebar, mereka berteriak, memanggil-manggil kawannya. Tidak terhitung berapa langkah maupun jelajah, mereka terus memanggil kawannya.

 

Tiba di sebuah tempat. Mereka menemukan sebatang alat berburu yang tertancap di tanah. Itu milik kawan mereka. Mungkin sudah pulang duluan, simpul mereka. Tapi mereka heran, di sebelah alat itu tampak jejak geliat ular raksasa, dan tapak kaki raksasa beserta tujahan empat kuku kaki seperti sebuah akar unggas.

 

Tidak perlu lama, keduanya memilih pulang meski gerimis mengiringi. Pertama-tama mereka pergi ke pondok keluarga kawannya untuk memastikan kesimpulan. Ternyata tidak ada. Lalu mereka ke pondok-pondok kawan lainnya, yang barangkali saja, kawannya bermain ke sana. Tapi tidak jumpa juga.

 

Tidak perlu lama pula, cerita itu menyebar ke mana-mana, dan menyebabkan orang-orang mencari pemuda naas itu kendati seharian penuh tidak juga menemukan. Juga ayah si pemuda. Sampai malam larut dalam lautan lelap anak-anak, ayahnya terus mencari dengan cara menanyakan kepada orang-orang.

 

Dengan berbekal obor ia bertandang dari satu pondok ke pondok lainnya. Senandung serangga malam membuat suasana begitu mencekam. Ia harus menemukan anak bujangnya, dan anak bujangnya harus pulang. Hasilnya selalu nihil, bahkan diulangi lagi ke pondok-pondok. Akhirnya ia memutuskan pulang dengan harapan semoga besok atau lusa anak bujangnya pulang.

 

Sekitar beberapa puluh langkah mencapai pondoknya, ia berteriak-teriak memanggil istrinya. Lalu sunyi, disusul sayup-sayup suara raungan binatang besar, dan kembali berganti senandung serangga malam. Istrinya sempat terbangun namun mengira suara panggilan itu hanya halusinasi. Besoknya, lusanya, hingga hari-hari sesudahnya, ayah si pemuda hilang itu juga dianggap ikut hilang. Suatu kutukan ayah-anak lelaki pun terceletuk dari setiap penuturan kalangan tua.

 

*

 

Keberadaan naga beserta wilayah kerajaannya tak pelak menjadi kisah nyata yang sering dibawa oleh orang-orang yang pulang entah dari mana. Selalu saja mengenai jejak-jejak naga, baik bekas bertapa maupun serpihan sisik-sisik naga. Juga setiap malam purnama yang sedikit digantungi mendung dan sebersit api di langit.

 

Pada suatu siang yang terik para orang tua berkumpul. Mereka membahas kejadian-kejadian serius serta hilangnya seorang pemuda lalu disusul ayahnya secara misterius. Bukan binatang liar biasa yang berkeliaran, yang selama ini harus diwaspadai. Melainkan, sampai pada suatu kenyataan, yang mau-tidak mau harus diyakini, bahwa selama ini mereka hidup di wilayah kekuasaan naga.

 

Begitulah. Naga-naga dan wilayah kerajaannya adalah pokok bahan pembicaraan penting bahkan genting. Dibahas pula peristiwa-peristiwa usang. Batang berdarah, batang berpindah, gua-gua, dan entah apa lagi, menuju satu prasangka untuk diyakini. Bukan suatu kebetulan lagi melainkan ular-ular raksasa memang bertapa sebelum menjadi naga sejati.

 

Mereka percaya bahwa naga-naga sejati akan memulai kehidupan baru dengan cara mengasingkan diri dan bertapa. Sebagian menyusuri sungai-sungai. Di antaranya ada yang berhenti untuk bertapa. Ada juga yang bertapa di sungai-sungai besar. Tetapi, menurut mereka, kesemuanya kelak akan berujung ke laut, dan mereka menyebutnya sebagai naga laut.

 

Untuk naga-naga yang mengasingkan diri ke gunung mati hingga terbentuklah “jalan para naga”, sesuai keyakinan mereka, merupakan naga-naga berkelas bangsawan alias naga sejati alias naga langit. Naga-naga yang melintasi segala wilayah di bumi. Naga-naga yang berani mengangkangi angkasa raya. Naga-naga yang menjadikan purnama sebagai mustika.

 

Ada lagi tentang air panas sesuam-suam kuku. Semula disangka akibat aktivitas gunung mati yang diam-diam masih aktif. Rupanya air itu dipanaskan oleh sekelompok naga pekerja dari gunung yang berlorong di bawah tanah untuk mandi para bangsawan naga. Gunung mati tidak akan aktif. Air panas dan gunung mati masih menjadi cerita orang-orang.

 

Sampai sore menjelang petang, pembahasan masih panjang. Mereka beranggapan bahwa hutan belantara sekitar kaki gunung adalah pelataran kerajaan naga, dan mereka menyebutnya sebagai “rimba larangan”. Telaga berair hangat yang adalah pemandian keluarga raja naga. Angker, keramat, pamali, dan lain-lain.

 

Mereka juga membuat larangan baru yang masuk dalam risalah adat.  Kepada para pemuda pun, jika hendak berburu, diperbolehkan sampai ke sana dengan aturan baru, bahwa jumlahnya harus lebih tiga orang dan bersenjata memadai. Kemudian, harus selalu waspada walau sekedip mata, tidak sembarang tempat bisa untuk beristirahat. Kepada para perempuan, jika hendak ke sungai, haruslah beramai-ramai, dan membawa senjata. Kepada anak-anak, dilarang bermain di tempat yang jauh dari orang dewasa atau pemukiman. Kepada seluruh orang, jangan bepergian seorang diri di malam hari.

 

Menjelang bauran sinar matahari benar-benar pudar, bubarlah mereka. Sementara di pondok-pondok, para perempuan dan anak-anak mengintip lewat celah-celah dinding kulit kayu. Mereka ingin melihat lidah api yang menyemburat di puncak gunung mati yang megah-gagah menjulang.

 

Semenjak itu pula dongeng-dongeng tentang naga yang tersembur dari mulut ke mulut sebelum tidur pun berganti kisah nyata yang malah menunda kantuk bertandang ke pelupuk mata anak-anak. Malam-malam berikutnya anak-anak selalu meminta cerita baru tentang naga, yang lebih seru.

 

*

 

Sebenarnya masih banyak cerita tentang kerajaan naga tapi mustahil bisa termuat keseluruhannya di sini. Barangkali sebagian sudah pernah kau dengar dari orang-orang, dan sebagiannya lagi baru di sini kau ketahui. Barangkali pula kau tertarik untuk membuktikan sendiri cerita-cerita mereka. Alangkah baiknya jika kau pergi ke sana saja, ke kerajaan naga di gunung mati, yang dari kejauhan tampak menjulang-gagah dalam jubah keunguan.

 

*******

Sri Pemandang Atas, ketika itu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun