Mereka percaya bahwa naga-naga sejati akan memulai kehidupan baru dengan cara mengasingkan diri dan bertapa. Sebagian menyusuri sungai-sungai. Di antaranya ada yang berhenti untuk bertapa. Ada juga yang bertapa di sungai-sungai besar. Tetapi, menurut mereka, kesemuanya kelak akan berujung ke laut, dan mereka menyebutnya sebagai naga laut.
Untuk naga-naga yang mengasingkan diri ke gunung mati hingga terbentuklah “jalan para naga”, sesuai keyakinan mereka, merupakan naga-naga berkelas bangsawan alias naga sejati alias naga langit. Naga-naga yang melintasi segala wilayah di bumi. Naga-naga yang berani mengangkangi angkasa raya. Naga-naga yang menjadikan purnama sebagai mustika.
Ada lagi tentang air panas sesuam-suam kuku. Semula disangka akibat aktivitas gunung mati yang diam-diam masih aktif. Rupanya air itu dipanaskan oleh sekelompok naga pekerja dari gunung yang berlorong di bawah tanah untuk mandi para bangsawan naga. Gunung mati tidak akan aktif. Air panas dan gunung mati masih menjadi cerita orang-orang.
Sampai sore menjelang petang, pembahasan masih panjang. Mereka beranggapan bahwa hutan belantara sekitar kaki gunung adalah pelataran kerajaan naga, dan mereka menyebutnya sebagai “rimba larangan”. Telaga berair hangat yang adalah pemandian keluarga raja naga. Angker, keramat, pamali, dan lain-lain.
Mereka juga membuat larangan baru yang masuk dalam risalah adat. Kepada para pemuda pun, jika hendak berburu, diperbolehkan sampai ke sana dengan aturan baru, bahwa jumlahnya harus lebih tiga orang dan bersenjata memadai. Kemudian, harus selalu waspada walau sekedip mata, tidak sembarang tempat bisa untuk beristirahat. Kepada para perempuan, jika hendak ke sungai, haruslah beramai-ramai, dan membawa senjata. Kepada anak-anak, dilarang bermain di tempat yang jauh dari orang dewasa atau pemukiman. Kepada seluruh orang, jangan bepergian seorang diri di malam hari.