Â
Sedangkan kawan satunya sudah membuat api unggun. Tubuhnya gemetaran menahan angin basah yang mengalirkan gigil. Ia masih gemetar ketika merasa rongga goa bergetar dan bergerak-gerak. Sempat dikiranya gua bakal ambruk, sedang gempa, ataukah terjadi longsor. Segera ia keluar sambil berlari kencang. Sesekali ia menoleh ke arah gua. Langkahnya terhenti sewaktu dilihatnya mulut gua bergerak liar beserta sebuah bentuk bulat besar memanjang.
Â
Ia pun berteriak memanggil kawan-kawannya. Satu kawannya tadi mendengar, dan mendekati sumber teriakan. Mereka bertemu sekaligus saling menanyakan, di mana kawan mereka satunya. Sambil melangkah lebar, mereka berteriak, memanggil-manggil kawannya. Tidak terhitung berapa langkah maupun jelajah, mereka terus memanggil kawannya.
Â
Tiba di sebuah tempat. Mereka menemukan sebatang alat berburu yang tertancap di tanah. Itu milik kawan mereka. Mungkin sudah pulang duluan, simpul mereka. Tapi mereka heran, di sebelah alat itu tampak jejak geliat ular raksasa, dan tapak kaki raksasa beserta tujahan empat kuku kaki seperti sebuah akar unggas.
Â
Tidak perlu lama, keduanya memilih pulang meski gerimis mengiringi. Pertama-tama mereka pergi ke pondok keluarga kawannya untuk memastikan kesimpulan. Ternyata tidak ada. Lalu mereka ke pondok-pondok kawan lainnya, yang barangkali saja, kawannya bermain ke sana. Tapi tidak jumpa juga.
Â
Tidak perlu lama pula, cerita itu menyebar ke mana-mana, dan menyebabkan orang-orang mencari pemuda naas itu kendati seharian penuh tidak juga menemukan. Juga ayah si pemuda. Sampai malam larut dalam lautan lelap anak-anak, ayahnya terus mencari dengan cara menanyakan kepada orang-orang.
Â