Â
Naga masih menjadi tokoh misteri dalam dongeng-dongeng pengantar tidur bagi anak-anak balita mereka di bilik pondok-pondok. Ayah-ibu dan kakek-nenek masih menjadikan naga sebagai sosok mitos dan sesepuh dalam kisah keramat adat untuk menggelarkan seseorang sebagai tokoh sakti yang pantas disegani. Semisal, kisah seorang kakek yang menangkap petir, yang ternyata adalah seekor naga dalam ukuran sedang. Atau halilintar yang menyambar sebatang pohon menjulang, yang sampai ke tanah lalu bergulung-gulung, meliuk-liuk, menerkam pohon lainnya dan akhirnya kembali melesat sambil tetap meliuk-liuk.
Â
Demikian juga sewaktu beberapa lelaki memotong pohon yang rebah seukuran satu pelukan. Sekujur batang berbalut benalu. Pasti sudah lapuk. Pasti lebih mudah memotongnya. Tapi mereka langsung melotot ketika alat pemotong mengoyak sedalam setengah jengkal. Koyakan mengeluarkan darah, dan batang itu menggelinjang seakan meradang.
Â
Mirip dengan cerita para penjaga kebun. Tanaman mereka tengah menampakkan hasil, yang artinya bakal menjadi bancaan binatang liar kelaparan. Bersandarkan sebatang pohon menghadap api unggun yang menyisakan bara, mereka terlelap. Keributan penghuni hutan membangunkan mereka. Mereka kaget karena batang sandaran sudah tidak ada. Bangkit dan bergegaslah mereka meninggalkan kebun pada tengah malam itu juga.
Â
*
Â
Apabila naga sedang lapar, tiada seorang pun pernah menyangka sebelumnya. Termasuk dua pemuda yang sedang berburu di saat sinar matahari sedang dibendung mendung di atas hutan. Keduanya heran begitu melihat pepohonan dan semak belukar bergerak-gerak oleh hembusan angin kencang. Lalu dedaunan dan beberapa binatang seukuran separuh tubuh pemuda terbawa oleh hisapan angin ke suatu arah.
Â