Sekelompok naga–istilah untuk ular-ular raksasa yang diketahui sekumpulan masyarakat yang tinggal pada jarak tempuh setengah hari–menghuni bahkan mengistanai sebuah gunung selama berabad-abad. Gunung itu pun telah lama mati. Hamparan hijau menyelimutinya. Apakah kau pernah melihat bahkan mendakinya?
Malam yang legam mencekam, kadang tercoreng sesaat oleh celorot lidah api di puncak gunung. Apalagi menjelang malam purnama sempurna yang merangkaki lerengnya. Bulan bagai ratu yang akan naik tahta. Bersemburlah lidah api sebagai sambutannya. Sementara di langit, beberapa naga melenggak-lenggok seolah menari sembari menyemburkan api, selanjutnya menuju purnama hingga moksa.
Ketika fajar menyingsing, kabut pekat membungkus rapat seluruh tubuh gunung itu. Suasana sangat lengang. Ketika fajar merekah para binatang terbang tampak riang memutari wilayahnya. Dari jarak tempuh satu hari penampilan gunung mati itu sebegitu menjulang dan sebetapa gagah dengan jubah keunguan berlatar langit sepenuh biru di terik matahari.
Sebenarnya tidaklah keunguan pada sekujur tubuhnya jika kau menuju ke arah gunung mati itu. Melainkan ada semacam jalan yang berkelok dan sebagian melingkar. Tanah lereng gundul, ilalang raksasa terkapar menguning, semak-belukar rebah nan kerontang, pepohonan menguak seperti lorong, atau tetumbuhan tergilas dan tergusur oleh benda-benda berat.
“Jalan para naga”, begitu kepercayaan masyarakat. Jalan itu sudah ada sebelum masyarakat membuka hutan-hutan di sekitar kaki gunung mati itu sampai membatasi diri serta menyebut rimba sekitar kaki gunung sebagai rimba larangan. Kau boleh saja tidak percaya atau tidak peduli pada sebutan “rimba larangan” yang sejatinya adalah pelataran kerajaan naga, tetapi cerita masyarakat sana bukanlah isapan jempol belaka.
*