“Malam tidak pernah terganggu karena tidak mungkin ada tamu kecuali maling. Malam itu bisa menemani dan membantu Abang di kala kami nyenyak bermimpi istana dan kami menjadi putri-putri kerajaan.”
Ria berhenti sejenak. Bola matanya berputar lalu lurus ke kapuk-kapuk di sebatang pohon randu yang pernah kutabrak ketika kewalahan mengemudikan motor dengan banyak barang bawaan, dan rem blong karena kampasnya aus. Akibat menabrak itu lampu depan motor kami retak.
“Malam bisa memeluk kita. Malam bisa menyenyakkan Ayah dan Bunda, menyembuhkan Ayah, menyegarkan Bunda, dan pagi-pagi bisa pulang.”
Kali ini aku harus menahan desakan perasaanku yang telah sampai di kedua bola mataku. Ya, aku harus menahannya. Ini tentunya suatu pengingkaran sikapku yang tidak mau kompromi pada perasaanku sendiri. Entah kalau malam nanti, ketika adik-adikku asik bermimpi pada saat malam telah matang, dan kepalaku mendidih, sebelum esok pagi menjenguk Ayah.
*******
Panggung Renung – Balikpapan, 2016