Mungkin aku sedikit beruntung karena mengambil jurusan IPS, menggemari Pelajaran Bahasa Indonesia, sering diberi kesempatan menggunakan komputer sekolah, dan beberapa puisiku pernah dimuat di koran daerah kami. Pernah menang beberapa lomba menulis tingkat kabupaten dan kecamatan, meski bukan juara I, sehingga aku bisa membeli laptop bekas, miliknya Sarwan, anaknya rekan kerja Ayah di kelurahan.
Ayah seorang pesuruh di kelurahan, sedangkan ayahnya Sarwan adalah sekretaris kelurahan. Jarak antara rumah dan kelurahan tidak sampai satu kilometer. Terkadang Ayah hanya berjalan kaki menuju kelurahan, melewati jalan tanah merah yang berpagar semak belukar dan kebun tidak terurus.
Tapi satu bulan terakhir, sejak ketahuan mengidap kanker prostat yang gawat, Ayah malah sering bolak-balik antara rumah dan rumah sakit di kota kabupaten. Terkadang aku berpikir, kenapa baru sekarang ketahuan. Kalau katarak, aku mengerti setelah Bunda memberi tahu sebabnya. Ayah sering menggunakan obat tetes mata.
Jalan di dusun kami memang belum diaspal. Masih tanah merah bercampur pasir halus. Debu-debu selalu beterbangan. Ketika masih aktif bekerja Ayah sering bolak-balik dari kelurahan ke kecamatan dengan motor bebek butut, yang berplat merah tetapi sudah diserahkan oleh Pak Lurah untuk Ayah, tetapi aku yang sering memakainya termasuk untuk mengantar kedua adikku ke sekolah.
***
Pukul 06.00 Ria membangunkan aku yang tertidur di meja. Biasa, aku harus segera menyiapkan sarapan untuk dia dan kakaknya. Telur ayam diaduk dengan irisan kubis dan wortel. Nasi kemarin kuolah lagi menjadi nasi goreng.
Beberapa burung gereja sudah ribut di pohon melinjo samping dapur. Ayam-ayam kami sudah entah ke mana sejak matahari membuka hari.
“Bang, sabun mandinya habis,” kata Ria di depan pintu kamar mandi yang berdekatan dengan dapur.
“Ambil saja di warung. Kuncinya...” Aku menoleh ke arahnya.
“Nah itu. Tadi aku cari kuncinya dekat pintu, tidak ada.”
Oh! Bola mataku berputar.