Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ingin Menjadi Malam

5 Januari 2016   21:09 Diperbarui: 6 Januari 2016   09:33 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin aku sedikit beruntung karena mengambil jurusan IPS, menggemari Pelajaran Bahasa Indonesia, sering diberi kesempatan menggunakan komputer sekolah, dan beberapa puisiku pernah dimuat di koran daerah kami. Pernah menang beberapa lomba menulis tingkat kabupaten dan kecamatan, meski bukan juara I, sehingga aku bisa membeli laptop bekas, miliknya Sarwan, anaknya rekan kerja Ayah di kelurahan.

Ayah seorang pesuruh di kelurahan, sedangkan ayahnya Sarwan adalah sekretaris kelurahan. Jarak antara rumah dan kelurahan tidak sampai satu kilometer. Terkadang Ayah hanya berjalan kaki menuju kelurahan, melewati jalan tanah merah yang berpagar semak belukar dan kebun tidak terurus.

Tapi satu bulan terakhir, sejak ketahuan mengidap kanker prostat yang gawat, Ayah malah sering bolak-balik antara rumah dan rumah sakit di kota kabupaten. Terkadang aku berpikir, kenapa baru sekarang ketahuan. Kalau katarak, aku mengerti setelah Bunda memberi tahu sebabnya. Ayah sering menggunakan obat tetes mata.

Jalan di dusun kami memang belum diaspal. Masih tanah merah bercampur pasir halus. Debu-debu selalu beterbangan. Ketika masih aktif bekerja Ayah sering bolak-balik dari kelurahan ke kecamatan dengan motor bebek butut, yang berplat merah tetapi sudah diserahkan oleh Pak Lurah untuk Ayah, tetapi aku yang sering memakainya termasuk untuk mengantar kedua adikku ke sekolah.

***

Pukul 06.00 Ria membangunkan aku yang tertidur di meja. Biasa, aku harus segera menyiapkan sarapan untuk dia dan kakaknya. Telur ayam diaduk dengan irisan kubis dan wortel. Nasi kemarin kuolah lagi menjadi nasi goreng.

Beberapa burung gereja sudah ribut di pohon melinjo samping dapur. Ayam-ayam kami sudah entah ke mana sejak matahari membuka hari.

“Bang, sabun mandinya habis,” kata Ria di depan pintu kamar mandi yang berdekatan dengan dapur.

“Ambil saja di warung. Kuncinya...” Aku menoleh ke arahnya.

“Nah itu. Tadi aku cari kuncinya dekat pintu, tidak ada.”

Oh! Bola mataku berputar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun