Aku tidak terlalu menggubris keberadaan Ria karena aku harus membereskan barang jualan. Menyiapkan kardus-kardus atau karung bekas beras 10 kg untuk memabawa masuk kembali barang jualan ke rumah sebelum azan magrib. Di warung kami belum ada rak, bahkan pintu-jendela. Letaknya hanya di depan rumah, kami belum perlu menambah biaya untuk rak, jendela, dan pintu.
“Bang, aku ingin menjadi malam.”
“Apa?”
“Aku ingin menjadi malam.”
“Lho, kok ingin menjadi malam?”
“Malam itu tenang.”
Seketika aku menoleh ke arahnya. Tanganku masih memegang sebuah kardus. Kutatap matanya yang bergerak perlahan ke luar warung. Tidak ada satu kata pun yang hendak kutanggapi pada ujarannya.
“Malam yang matang.”
Waduh. Aku nyaris saja menanggapinya karena, aku yakin, kalimat “malam yang matang” itu didapatnya dari mencuri dengar kalimatku ketika menyuruh Lia tidur. Tapi kubiarkan saja karena aku ingin mendengar, bagaimana Ria menguraikan “malam yang matang” dari pikirannya yang masih kelas V SD.
“Malam yang menghalangi Abang pergi entah ke mana.”
Aku tersenyum. Ria pernah mendengar aku nyaris kecemplung parit dekat kelurahan gara-gara tidak ada penerangan jalan di sekitar jalan itu. Lampu motor yang redup karena akinya tidak berfungsi dengan baik, apalagi penutupnya retak parah sehingga aku harus menambalnya dengan isolasi. Tapi dia tidak tahu, malam itu aku baru pulang dari rumah Zaenab (tetangganya Sarwan) yang sedang kuincar untuk kujadikan pacarku.