Medio Desember tahun lalu, saya sempat merasa "dikerjain" oleh Surat Edaran Walikota Yogyakarta Nomor 660/6123/SE/2022 tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik. Apa penyebabnya?Â
Mari simak pengalaman "ringan" saya jelang akhir tahun lalu, terkait Gerakan Zero Sampah Anorganik di Kota Yogyakarta yang (konon) dimulai awal Januari 2023 tempo hari.
***
"Mbaaak. Kok mulai Januari enggak boleh membuang sampah, ya? Lalu, gimana ini sampahnya?"Â
Nenek pemilik toko kelontong langsung menyambut dengan pertanyaan, begitu saya memasuki tokonya. Saya nyengir sesaat, lalu menjawab, "Boleeeh."Â
"Heh? Lhah itu, kemarin ada pengumumannya di WA? Kata cucuku."
"Hehehe. Bolehlah, Nek. Masak iya kita enggak boleh buang sampah? Tidak mungkin dong, Nek, kalau dilarang membuang sampah. Tiap hari aja orang-orang bikin sampah sembarangan."
"Iya, ya? Kalau dilihat-lihat masyarakat memang kurang sadar jaga kebersihan. Kemarin di alun-alun situ berserakan sampah botol minuman."Â
Saya nyengir cantik untuk menanggapinya.
"Eh, tapi pengumuman yang dilarang buang sampah itu? Yang katanya dimulai Januari nanti?" Nenek pemilik toko kelontong tersadarkan untuk kembali ke pertanyaan awal.
"Tidak dilarang membuang sampah. Cuma cara buangnya, sekarang disuruh taat aturan. Cuma sampah anorganik yang enggak boleh dibuang ke TPS-TPA. Harus dikelola bank sampah. Kalau sampah organiknya boleh. Dibungkus rapi dulu, baru kemudian dibuang ke tong sampah dekat sini. Terus nanti tinggal diambil Mas X (nama penggerobak sampah di kampung kami)."Â
"Ooo." Nenek pemilik toko merespons dengan raut muka penuh pertanyaan.
Melihat respons beliau yang seperti itu, saya meneruskan penjelasan, "Sampah bungkus makanan, bungkus obat, pampers, juga boleh dibuang di tong sampah. Tapi wajib dibungkus rapi dulu."
"Ooo."
Saya masih ragu dengan respons "ooo" tersebut. Jadi, kembali saya tegaskan kepada beliau bahwa hanya 2 jenis sampah yang bisa dibawa Mas X ke TPS.
Pertama, sampah organik yang antara lain berupa sisa makanan, kulit sayuran dan buah, tanaman, serta sampah sejenisnya yang mudah terurai.
Kedua, sampah residu yang berupa tisu bekas, kapas bekas, Â bekas kemasan makanan/minuman, plastik sachet, plastik laminasi, styrofoam, puntung rokok, pembalut dan pampers (sebelum dibuang dibersihkan dulu), serta sampah lain yang sejenis dengannya.
"Pokoknya begini, Nek. Selain yang anorganik boleh dibuang di tempat sampah umum, tapi syaratnya harus dipilah-pilah dan dibungkus rapi. Enggak asal dibuang ke tong sampah besar di sana itu."Â
"O, begitu? Masih boleh buang sampah asalkan dibungkus rapi?"
"Boleh, Nek, tapi membungkusnya tetap dipilah-pilah, ya. Tidak boleh dicampur-campur. Kalau dicampur-campur juga tidak akan diangkut Mas X ke TPS."Â
"Jadi, misalnya kulit wortel diplastiki sendiri. Tidak boleh dicampur dengan pampers? Benar, ya?"
Saya mengiyakan dan berkata, "Kulit wortel bolehnya  dicampur dengan kulit telur, kulit pisang, kulit kentang, dan yang alami-alami."
"O, begitu. Iya, iya. Paham, paham. Yang sejenis dijadikan satu plastik."
"Gini aja, Nek, biar gampang mengingat-ingat. Pokoknya yang bisa disetor ke bank sampah atau dijual ke tukang rongsokan, itulah yang namanya sampah anorganik. Yang tidak bakalan diangkut Mas X.Â
"Iya, iya. Hehehe .... Bank sampahnya di sini malah sering enggak buka. Malah ada juga daerah yang enggak punya bank sampah, lho."
"Nah, itulah masalah," sambar saya. "Kalau bank sampahnya jarang buka, bingung juga mau mengurus sampah anorganiknya. Kalau banyak bisa sekalian dijual. Kalau sedikit 'kan nanggung. Harus dikumpulkan dulu agar banyak, tetapi bikin repot juga kalau rumah sempit."
"Eh, sampah organik itu yang mana maksudnya? Organik sama apa tadi?" Nenek pemilik toko bertanya lagi.
"Anorganik," jawab saya lemah sebab mulai putus asa.
"Anorganik. Sampah anorganik."
"Iya." Saya mengiyakan.
"Jadi yang botol-botol, kardus, itu harus dibawa ke bank sampah?"
"Iya "
"Itu namanya sampah organik?"
"Anorganik, Nek."
"Oiya, anorganik. Botol, kardus, kertas, itu anorganik. Benar, ya?"
"Iya."
O la la! Ternyata beliau sungguhan masih bingung dalam memahami istilah sampah organik dan sampah anorganik. Sementara selain kedua istilah tersebut, masih ada istilah sampah residu dan sampah B3.
Ya sudah. Akhirnya pagi itu saya sedikit melakukan sosialisasi perihal pilah sampah sebagai prolog beli kopi sachet di toko beliau. Tentu semaksimal kemampuan saya dan melalui narasi yang mudah dipahami si nenek.Â
Sebenarnya pun apa yang saya jelaskan adalah hasil memahami poster yang disebarluaskan instansi terkait. Yang dibagikan oleh Mas X di WAG RW kami. Kebetulan Mas X sang penggerobak sampah adalah salah satu warga di RW kami juga.
Dari informasi dan poster yang dibagikan Mas X itulah saya pertama kali tahu perihal aturan nol sampah anorganik. Malah bukan dari pengurus RW. Mungkin kewenangan perihal dunia persampahan sudah diserahkan sepenuhnya kepada Mas X.Â
Hanya saja, Mas X tidak memberikan juknisnya. Ia sekadar menuliskan bahwa mulai Januari 2023 tak boleh lagi membuang sampah anorganik dan membagikan poster. Saya kira setelahnya pihak RW akan mengadakan pertemuan warga untuk informasi lebih detilnya. Ternyata tidak.
Beberapa hari kemudian ada warga yang bertanya-tanya di WAG. Lalu, salah satu pengurus RW memberikan penjelasan. Disertai pula dengan poster yang narasinya lebih detil.Â
Makin dekat ke akhir tahun, jumlah pertanyaan makin bertambah. Pengurus RW yang menjawab juga bertambah dua orang. Syukurlah. Itu sudah cukup memberikan pemahaman bagi saya.Â
Nenek pemilik toko, walaupun satu RW dengan saya, pastilah tidak membacanya. Kalau cucunya mungkin malah membaca sekilas. Yang menjadi anggota WAG RW 'kan cucunya itu. Sementara sang cucu hanya menginformasikannya kalau mulai Januari 2023 tidak boleh lagi buang sampah. Apa boleh buat? Akibatnya informasi penting tersebut tak tersampaikan dengan baik.
Alhasil, pagi itu acara belanja saya menjadi sangat molor durasinya. Cuma beli 2 sachet kopi instan, tetapi gara-gara Surat Edaran Walikota tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik, saya malah mendadak jadi jurkam pilah sampah.
Menit pun terus berlari tahu-tahu azan zuhur berkumandang. Segera saya mengambil air wudu dan bergegas ke mushola. Senyampang ringan kaki dan hati untuk melaksanakan salat berjamaah.
Selepas salat saya pulang bersama dengan seorang nenek. Tak disangka-sangka begitu melihat tempat sampah yang kami lewati, beliau berkomentar, "Niku pripun, nggih? Kok mboten angsal mbuwak uwuh?" (Itu gimana, ya? Kok enggak boleh buang sampah?)
Spontan saya menjawab, "Angsaaal." (Boleeeh)
Si nenek menghentikan langkah dan menatap saya bingung. Katanya kemudian, "Jare ra entuk? Wonten pengumumane teng HP." (Kabarnya enggak boleh? Ada pengumumannya di HP)
Saya tertawa kecil. Seketika teringat kejadian paginya, tatkala saya ditanyai hal yang sama oleh nenek pemilik toko kelontong. Saya pun kemudian merespons dengan cara yang sama. Mendadak jadi jurkam pilah sampah. Yeah, otomatis begitu karena pertanyaannya memang sama.
***
Pengalaman saya berhadapan dengan dua nenek tersebut terjadi pada pekan terakhir Desember 2022. Kira-kira 3 atau 4 hari menjelang pergantian tahun. Lalu, sekarang bagaimana? Setelah Januari 2023 berjalan hampir sepertiganya?
Inilah fakta-fakta terkait sampah, yang saya hadapi sejak tanggal 1 hingga 9. Terlepas dari dua nenek yang saya ceritakan di atas, apakah keduanya telah sungguhan paham atau tidak dengan penjelasan saya.
PERTAMA, pada tanggal 1 Januari 2023 sore saya melihat botol-botol plastik bekas minuman berserakan di hamparan pasir alun-alun utara Yogyakarta. Parah memang. Alun-alun utara itu 'kan sudah dipagari dengan rapi agar terbebas dari sampah-sampah. Eh, kok ya tak kurang akal para pembuang sampah sembarangan itu.
KEDUA, pada tanggal 5 Januari 2023 saya mengantarkan teman berkunjung ke Kraton Yogyakarta. Waktu jajan es dawet di area depan kraton wadahnya gelas plastik, padahal kami minum di tempat. Setelah dawet habis, gelas-gelas kami buang di dekat penjualnya. Memang di situ disediakan plastik hitam besar.
Mengapa orang yang beli dan minum di tempat tidak dilayani dengan gelas permanen saja? Yang bisa dicuci berulang kali setelah dipergunakan? Lebih repot memang. Namun, lebih ramah lingkungan.
Saya membatin, "Dalam sehari, berapa jumlah sampah gelas plastik yang dihasilkan si penjual es dawet? Tak adakah imbauan khusus ke para pedagang untuk meminimalkan produksi sampah? Apa kabar SE Walikota tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik?"
KETIGA, pada tanggal 8 Januari 2023 saya mengikuti kegiatan Jogja Walking Tour by Malamuseum dari pagi sampai siang. Rutenya Kraton-Masjid Kraton (Masjid Gedhe Kauman)-Kraton.Â
Wah, wah, wah. Kok ya mata saya menangkap penampakan seonggok sampah plastik bekas makanan dan minuman ditinggal begitu saja, di pot besar tanaman pinggir jalan antara kraton dan masjid.
Tatkala di depan gapura masjid, berserakan pula sampah serupa. "Kotor sekali, ya? Mengapa tak dibersihkan ini?" Story teller kami sampai berkomentar begitu. Saya cuma mengangkat pundak sambil nyengir.
KEEMPAT, hingga hendak mengunggah tulisan ini saya belum membaca pengumuman di WAG RW, kapan bank sampah di tempat kami kembali beroperasi.Â
KELIMA, sejauh ini belum ada undangan pertemuan warga di lingkup RW, terkait Gerakan Zero Sampah Anorganik.Â
KEENAM, pagi tadi saya nonton di Tiktok, ada seseorang yang bikin VT tentang sampah yang beterbangan di salah satu tempat di Kota Yogyakarta. Dia ceritanya sedang berkunjung dari kota domisilinya (berarti wisatawan). Duh?!
KETUJUH, salah satu anggota WAG RW kami menulis keluhan sebagai berikut.Â
Masalah sampah membuat masyarakat smkn pusing, apalagi yg sampah organik, yg tdk punya lahan/tempat untuk mengolah jd kompos, smkn pusing.
Laaaa bgm dg pabrik yg melahirkan brg anorganik spt plastik, kaleng, kaca .... apakah ada ajakan untuk pabrik spy mengkondisikan produksinya seminimal mungkin?Â
Membaca keluhan tersebut, seketika saya tersadar akan sesuatu. Saya mendadak merasa bahwa semua upaya mengatasi sampah adalah sia-sia belaka. Tak akan pernah menunjukkan hasil yang signifikan. Bagaimana mau berhasil kalau tak ada gerakan untuk meminimalkan produksi sampah?Â
Mestinya sampah dibasmi sejak dalam pikiran. Dalam arti, sebelum berbelanja atau beli apa saja, masyarakat sudah mulai berpikir tentang peminimalan sampahnya. Antara lain dengan membawa tas belanja atau wadah dari rumah. Sementara dari sisi penjual/produsen diedukasi juga agar semaksimal mungkin menekan potensi sampah dari jualan/produknya.
Kalau produksi sampah tak terbendung, TPS-nya pun bakalan selalu kewalahan. Namun, sayang sekali saya belum pernah menemukan anjuran meminimalkan produksi sampah, baik yang dibagikan di WAG RW maupun di akun pemkot/instansi berwenang.
KEDELAPAN, mau tidak mau saya merasa kesal ketika membaca pengumuman yang dikirim oleh Mas X di WAG RW. Isi pengumumannya supaya kami betul-betul memilah sampah sebelum membuangnya di tong sampah masing-masing. Bukan kesal kepada Mas X, melainkan pada mereka yang nekad tidak mau memilah sampah.
Mas X juga menegaskan bahwa barangsiapa tidak memilah sampah, sampahnya itu tidak bakalan diambilnya. Karena sejak awal tahun, TPS dijaga ketat oleh petugas Dinas DLH (pagi) serta Linmas dan Satpol PP (siang-malam). Penggerobak sampah diikuti sampai truk dan jika sampahnya masih campur baur tak keruan, disuruh membawa pulang.
Nah, kalau di bagian ini saya kesalnya kepada instansi terkait. Dari sebuah berita di koran daring, saya membaca bahwa instansi terkait sempat menyatakan kalau kebijakan Zero Sampah Anorganik memang sifatnya memaksa. Dasarnya kondisi TPA piyungan.
Hmm. Saya bisa memahami tentang pemaksaan itu. Hanya saja, adilkah kalau pemaksaan ini tidak didahului dengan masifnya sosialisasi terkait Gerakan Zero Sampah Anorganik?Â
Saya cuma menyimpulkan apa yang saya rasakan sebagai warga masyarakat. Tanpa pretensi apa pun.Â
***
Demikian cerita saya mengenai dunia persampahan di Yogyakarta. Terkhusus dalam kaitannya dengan Surat Edaran Walikota Yogyakarta Nomor 660/6123/SE/2022 tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik.Â
Karena sekarang sudah tahun 2023, gerakan tersebut berarti sudah berjalan. Sejauh ini apakah efektif dan berjalan lancar? Mari tunggu saja kabar terkini dari Gerakan Zero Sampah Anorganik di Yogyakarta.
Salam