Alhasil, pagi itu acara belanja saya menjadi sangat molor durasinya. Cuma beli 2 sachet kopi instan, tetapi gara-gara Surat Edaran Walikota tentang Gerakan Zero Sampah Anorganik, saya malah mendadak jadi jurkam pilah sampah.
Menit pun terus berlari tahu-tahu azan zuhur berkumandang. Segera saya mengambil air wudu dan bergegas ke mushola. Senyampang ringan kaki dan hati untuk melaksanakan salat berjamaah.
Selepas salat saya pulang bersama dengan seorang nenek. Tak disangka-sangka begitu melihat tempat sampah yang kami lewati, beliau berkomentar, "Niku pripun, nggih? Kok mboten angsal mbuwak uwuh?" (Itu gimana, ya? Kok enggak boleh buang sampah?)
Spontan saya menjawab, "Angsaaal." (Boleeeh)
Si nenek menghentikan langkah dan menatap saya bingung. Katanya kemudian, "Jare ra entuk? Wonten pengumumane teng HP." (Kabarnya enggak boleh? Ada pengumumannya di HP)
Saya tertawa kecil. Seketika teringat kejadian paginya, tatkala saya ditanyai hal yang sama oleh nenek pemilik toko kelontong. Saya pun kemudian merespons dengan cara yang sama. Mendadak jadi jurkam pilah sampah. Yeah, otomatis begitu karena pertanyaannya memang sama.
***
Pengalaman saya berhadapan dengan dua nenek tersebut terjadi pada pekan terakhir Desember 2022. Kira-kira 3 atau 4 hari menjelang pergantian tahun. Lalu, sekarang bagaimana? Setelah Januari 2023 berjalan hampir sepertiganya?
Inilah fakta-fakta terkait sampah, yang saya hadapi sejak tanggal 1 hingga 9. Terlepas dari dua nenek yang saya ceritakan di atas, apakah keduanya telah sungguhan paham atau tidak dengan penjelasan saya.
PERTAMA, pada tanggal 1 Januari 2023 sore saya melihat botol-botol plastik bekas minuman berserakan di hamparan pasir alun-alun utara Yogyakarta. Parah memang. Alun-alun utara itu 'kan sudah dipagari dengan rapi agar terbebas dari sampah-sampah. Eh, kok ya tak kurang akal para pembuang sampah sembarangan itu.