"Aku keluar." Cukup dua patah kata itu yang memberikan peringatan besar kepada temannya.
"Hei, kau tidak bisa begitu! Kita membangunnya bersama! Jika kau pergi, lalu bagaimana denganku?!"
"Kalau begitu, bersihkan! Jika tidak berhasil, aku akan menghancurkannya sendiri," ancam Moon dengan nada tajam seraya berjalan pergi meninggalkan orang itu.
***
Ren membolak-balik majalah bisnis di kamarnya dengan malas. Semenjak, tragedi itu, dia kehilangan semangatnya untuk mengembangkan hobinya. Seakan sudut hatinya tertusuk dan sakit, itu belum sembuh hingga sekarang.
Apalagi, dia sudah mendengar kabar terkait hasil autopsi dan akan segera diadakan pemakaman untuk seseorang yang dia anggap sebagai adik perempuannya.
Ren selalu memperhatikannya dan merawatnya, dia tidak percaya bahwa seseorang yang dia sayangi itu telah pergi begitu saja. Dia hampir mengira tragedi itu hanyalah permainan lelucon yang mungkin saja dilakukan Anggie, yang memiliki selera humor yang aneh.
Akan tetapi, konfirmasi dari pihak berwenang telah memadamkan harapannya. Tidak mungkin pihak berwenang berbohong dan ikut mengada-ngada, kecuali ada perihal yang krusial ikut serta dalam kasus tersebut.
Ada juga satu hal mengganjal yang mengganggu Ren. Itu adalah saat dia berpapasan dengan orang di sebuah halte, dia ingat dengan benar bahwa dia sepertinya mendengar panggilan yang akrab. Namun, dia tak melihat orang yang memanggilnya, jadi apakah itu ilusinya semata?
Mengingatnya kembali, Ren tiba-tiba tersadar pada banyak keganjilan pada malam tragedi itu. Juga, penjelasan temannya cukup mencurigakan seperti dibuat-buat. Ren menyusun beberapa petunjuk dan memikirkan kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu.
Vila di tempat terpencil, pesta malam yang agak aneh, dan kejadian mawar merah yang ternoda darah di taman. Kemudian, hasil autopsi dan kesimpulan yang dia dapatkan dari temannya.