Mohon tunggu...
Agus Satriadi
Agus Satriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang santri dan sekaligus pemerhati masalah sosial di banten

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sistem Pemerintahan Islam, Tawaran Pengganti Sistem Demokrasi yang telah Usang

25 Februari 2011   02:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:17 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali

dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia. Baik dari aspek asas yang

menjadi landasan berdirinya, pemikiran, pemahaman, standar serta hukum-hukum

yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umat, maupun dari aspek

undang-undang dasar serta undang-undang yang diberlakukannya, ataupun dari

aspek bentuk yang menggambarkan wujud negara tadi, maupun hal-hal yang

menjadikannya beda sama sekali dari seluruh bentuk pemerintahan yang ada di

dunia.

A. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi

Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam

tidak mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem monarchi.

Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota),

dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang

tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem

pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan

dipegang oleh orang yang dibai'at oleh umat dengan penuh ridla dan bebas

memilih.

Sistem monarchi telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa

khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem

ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi

memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja hanya simbol bagi umat, dan tidak

memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa. Atau kadangkala

menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana

raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya,

sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania.

Lain halnya dengan sistem Islam, sistem Islam tidak pernah memberikan

kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak

khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat

biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat yang menjadi khalifah

namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Disamping khalifah juga bukan sebuah

simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta

rakyatnya dengan sesuka hatinya. Namun, khalifah adalah wakil umat dalam

masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai'at dengan

penuh ridla agar menerapkan syari'at Allah atas diri mereka. Sehingga khalifah

juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum

serta pelayanannya terhadap kepentingan umat.

Disamping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi

(putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga

menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara

mengambil pemerintahan yaitu dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam,

dengan penuh ridla dan bebas memilih.

B. Pemerintahan Islam Bukan Republik

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem

republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di

tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat

aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan

seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat

juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan,

termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.

Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah

Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di tangan syara', bukan

di tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat

aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.

Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk

dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah

dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah.

Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat

tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di

tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka

bai'at untuk menjadi wakil mereka.

Dalam sistem republik dengan bentuk presidensilnya, seorang presiden

memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang

perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya

para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan

bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana

menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan

presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.

Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun

kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi,

yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam

sistem khilafah Islam hanyalah para mu'awin yang senantiasa dimintai bantuan

oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas

pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika

khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam

kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan

hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang

bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu'awin

tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Selain dua bentuk tersebut --baik presidensil maupun parlementer--

dalam sistem republik, presiden bertanggungjawab di depan rakyat atau yang

mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk

memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.

Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang

amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan

wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta

wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk

memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali

apabila menyimpang dari hukum syara' dengan penyimpangan yang menyebabkan harus

diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah

madhalim.

Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensil

maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak

mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem

khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah

apakah masih menerapkan hukum syara' atau tidak. Karena itu, selama khalifah

melaksanakan hukum syara', dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada

seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta

sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat

panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara' serta menjauhkan

penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun

baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.

Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian

jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam

sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali

tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah

sistem republik, atau mengeluarkan statemen: "Republik Islam". Sebab, terdapat

perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas

yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di

antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah

berikutnya.

C. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem

kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan

sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada

pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak sama dengan wilayah yang

diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem

kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang

lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem

ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan

ekonomi di wilayah pusat.

Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap

sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah

negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam

memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam

yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban

sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam

senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun

madzhabnya-- yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim.

Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan

sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi

daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa

dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu

kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu

kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap

wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya

juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat,

atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta

perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.

D. Pemerintahan Islam Bukan Federasi

Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi

wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam

pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem

kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan

Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul

fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kaero. Harta kekayaan seluruh wilayah

negera Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan

secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau

seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil,

maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan

berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang

pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak

akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran

belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya.

Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.

Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan

berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang

berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini.

Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam

beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem

yang lain.

Disamping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem

pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa

tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh

terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun

yang besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya

pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan

lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan

amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara

juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang

mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang

akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan

pemerintahan di seluruh negeri.

Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem

khilafah. Dan ijma' sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan

kesatuan negara serta ketidakbolehan berbai'at selain kepada satu khalifah.

Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha'. Yaitu

apabila ada seorang khalifah dibai'at, padahal sudah ada khalifah yang lain

atau sudah ada bai'at kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus

diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbai'at. Sebab secara syar'i,

bai'at telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibai'at dengan bai'at

yang sah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun