Hujan masih merintik di balik kaca. Sisi dalamnya sampai mengembun dihembus udara oleh mesin pendingin dari dalam mobil. Alya masih menyandarkan sekujur tubuh lelahnya pada jok kursi. Enggan rasa untuk bergegas bangkit, malah ia menggeliat manja. Sebuah kecupan hangat kemudian mendarat di keningnya.
“Selamat pagi, sayang! Met beraktivitas ya!”
“Kau akan berangkat jam berapa, Bli?”
“Ya seperti biasalah. Jam tujuh kita kan sudah di kantor?”
“Maksudku, jam berapa kau akan berangkat ke Cepu?” Sengaja Alya melempar pertanyaan dengan cara sedikit jahil. Bagus memiringkan badannya. Tangan kekarnya mengelus mesra pipi Alya.
“Nanti malam, dik. Naik Sembrani setengah sembilan. Kenapa? Aku masih di sini, kau sudah merindukanku?” Bagus balas menggoda. Alya menggeliat lagi.
“Gendong…” rengeknya kian manja pada kekasih hatinya itu. Bagus tersenyum. Gegas ia keluar dari mobil dan membukakan pintu bagian sebelahnya. Namun sembari tertawa kecil ternyata Alya langsung melompat turun.
“Makasii… udah, ga usah. Khawatir nanti ada yang lihat,”
“Baiklah. Aku akan setia menunggu akan hari itu,”
“Hari itu apa?”
“Sudahlah. Ini pukul empat tiga puluh. Masuk sana! Cepat mandi. Sampai nanti di kantor ya,”