Review Buku of Hukum Perkawinan Islam (KH. Ahmad Azhar Basyir, MA.)
Agilta Alnafian (222121181)
4E
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstrak:
Perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk membangun sebuah rumah tangga atas ridho dari Allah SWT. Di Indonesia perkawinan telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 yang secara jelas dan rinci mengatur tentang perkawinan. Namun pada kenyataannya masih banyak yang tidak mentaati peraturan Undang-undang karena masih banyaknya tingkat perkawinan di bawah umur. Penyebab terjadinya perkawinan dini adalah terkait cara pandang masyarakat yang sangat sederhana bahkan cenderung salah dalam memandang perkawinan, yang sejatinya bermula dari permasalahan pendidikan.
Akibat hukum dari perkawinan di bawah umur adalah anak tersebut dianggap telah dewasa dan dianggap mampu melakukan perbuatan hukum, serta anak tersebut tidak lagi diasuh dan dilindungi oleh orang tuanya. Jika seorang anak hamil dan melahirkan, maka anak tersebut menjadi anak sah karena perkawinannya. Dan jika anak tersebut dikawinkan dan dilahirkan sebagai anak yang sah, maka akan timbul hubungan perdata antara orang tua dan anak tersebut mengenai harta bersama pasangan tersebut. Yang dimaksud dengan anak sah adalah yang pada saat dilahirkannya mempunyai ayah dan ibu dari perkawinan yang sah.
Kata kunci: perkawinan, hukum islam
Pendahuluan
Setelah saya membaca buku dari KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. yang di dalam buku tersebut membahas mengenai hukum perkawinan islam yang mana berisi tentang pengertian dan tujuan dari perkawinan, hukum melakukan perkawinan, syarat-syarat sahnya perkawinan, dan juga membahas tentang perempuan yang haram dinikahi. Di dalam islam pernikahan merupakan suatu hal yang sakral bagi seluruh umat Islam.Â
Dengan begitu, para ulama juga menyatakan bahwa hukum perkawinan sudah ada sejak zaman Nabi Adam alaihissalam dan terus ditegakkan oleh umat manusia demi kesempurnaan agama serta kelangsungan hidup dan kesejahteraan meski banyak manusia yang mengingkari agama. Makna perkawinan adalah menyatukan kehidupan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dalam hubungan perkawinan yang halal dan menjamin kelangsungan peradaban manusia di muka bumi. Manusia akan semakin sempurna di dunia jika melangsungkan pernikahan yang sudah dianjurkan oleh Rasullullah.
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
Pengertian dan tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan naluri hidup manusia, menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Hukum Islam mengatur bahwa perkawinan dilangsungkan dengan akad atau perjanjian yang sah antara pihak-pihak yang terlibat dan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Dengan demikian, perkawinan menurut hukum Islam dapat dipahami sebagai suatu akad atau persekutuan yang bertujuan untuk melegalkan hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan agar tercipta kehidupan keluarga yang bahagia, penuh rasa damai, cinta rukun dengan cara yang diridhai Allah.
Jika kita bandingkan pengertian tersebut dengan pengertian pada Pasal 1 UU Perkawinan yang baru (UU No. 1 Tahun 1974), pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsip antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut hukum. ikatan jasmani dan rohani antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dalam hal ini dapat dilihat adanya empat garis penataan, yakni:
a. Rub al-Ibadat, yaitu menata hubungan manusia selaku makhluk dengan khaliknya.Â
b. Rub al-Muamalat, yaitu menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesame manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.Â
c. Rub al-Munakahat, yaitu menata hubungan manusia dalam lingkungan keluarga.Â
d. Rub al-Junayah, yaitu menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin ketentramannya.
Adapun menurut mahmud Junus, bahwa tujuan perkawinan mengikuti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tanga yang damai dan teratur. Sedangkan menurut Zakiyah Darajat, bahwa tujuan perkawinan antara lain: Â
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.Â
b. Memenuhi hajat manusia dalam menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.Â
c. Memenuhi panggilan agama serta memelihara diri dari kejahatan dan kerusakanÂ
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban serta bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta yang halalÂ
e. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Menurut Sulaiman al-Mufarraj, bahwa tujuan perkawinan antara lain:Â
a. Sebagai ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, sebab nikah merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya.
b. Untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang (iffah) dan melakukan hubungan intim (mubaddho’ah) Â
c. Memperbanyak umat Muhammad SAWÂ
d. Menyempurnakan agamaÂ
e. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu saat masuk surga.Â
f. Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan, dan lain sebagainya.Â
g. Legalitas untuk melakukan hubungna intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, serta memberikan nafkah dan membantu istri di rumah.Â
h. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluargaÂ
i. Untuk saling mengenal dan menyayangi.Â
j. Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri k. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan ajaran Nya.
l. Suatu tanda kebesaran Allah SWT, dimana orang yang sudah menikah yang awalnya tidak saling mengenal, tetapi setelah melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya semakin dekat saling mengenal dan saling mengasihi.Â
m. Memperbanyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan.
n. Untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan.Â
Â
Hukum melakukan perkawinan
Meskipun Islam pada dasarnya menganjurkan pernikahan, namun jika dilihat dari situasi di mana pernikahan itu dilakukan, pernikahan bisa saja tunduk pada hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
1. Perkawinan yang wajib
Pernikahan yang sah adalah wajib bagi mereka yang mempunyai keinginan yang kuat untuk menikah, mampu menunaikan dan memikul kewajiban hidup berumah tangga, serta takut jika tidak menikah akan mudah terjerumus ke dalam zina.
Alasannya peraturan ini adalah sebagai berikut. Melindungi diri Anda dari perselingkuhan sangatlah penting. Qa'idah fiqhiyah mengatakan: "Memenuhi kewajiban itu mutlak diperlukan, hukumnya wajib"; Atau dengan kata lain: "Jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya sesuatu, maka hal itu juga wajib secara hukum." Penerapan aturan ini dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang dapat melindungi dirinya dari perzinahan hanya melalui perkawinan maka undang-undang mewajibkan dia untuk menikah.
2. Perkawinan yang Sunnah
Pernikahan itu sunah bagi mereka yang mempunyai keinginan yang kuat untuk menikah dan mampu menunaikan dan mengemban kewajiban pernikahan, namun jika belum menikah tidak takut melakukan zina.
Alasan Legalitas sunnah ini diambil dari ayat Al Quran dan hadis -- hadis Nabi yang disebutkan dalam islam menganjurkan pernikahan diatas. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa berdasarkan ayat Al-Quran dan peninggalan suci Nabi, hukum pokok perkawinan adalah sunnah.
Ulama mazhab Syafii berpendapat bahwa hukum perkawinan pada mulanya diperbolehkan. Para ulama mazhab Dhahiri berpendapat bahwa menikah adalah wajib bagi orang-orang yang mampu dan tidak takut berzina jika belum menikah.
3. Perkawinan yang haram
Pernikahan itu haram bagi yang tidak mempunyai keinginan, tidak mempunyai kemampuan dalam menjalankan dan menunaikan kewajiban hidup berumah tangga, sehingga jika menikah juga akan mendatangkan kesusahan bagi istrinya.
Hadits Nabi mengajarkan agar manusia tidak boleh melakukan hal-hal yang menimbulkan masalah bagi diri sendiri dan orang lain.
Al-Qurthubi, salah satu ulama terkemuka mazhab Maliki, mengatakan bahwa jika calon suami mengetahui bahwa ia tidak akan melakukannya, maka ia dapat memenuhinya. kewajibannya untuk menafkahi dan membayar mahar istrinya atau kewajiban lain yang menjadi hak perempuan. Tidak sah menikahi seseorang kecuali ia menjelaskan keadaannya kepada calon istrinya; atau jika dia bersabar sampai dia merasa bisa melindungi kepentingan istrinya maka dia boleh menikah.
Al-Qurtubi juga mengatakan bahwa seseorang mengetahui bahwa jika dia mempunyai suatu penyakit dapat mencegah kemungkinan terkena penyakit tersebut. calon istri, ia harus memberikan informasi kepada calon istri agar tidak merasa tertipu.
4. Perkawinan yang makruh
Pernikahan yang sah itu makruh bagi seseorang yang mempunyai kemampuan materi yang cukup, ketabahan mental dan agama yang cukup, tidak takut tergoda untuk berzina namun takut tidak mampu menunaikan kewajibannya. tidak terjadi. menimbulkan masalah bagi wanita tersebut; Misalnya calon istri kaya atau calon suami tidak ada keinginan untuk menikah.
Imam Ghazali mengatakan, jika ditakutkan menikah akan berdampak pada menurunnya semangat beragama. Beribadah kepada Allah dan semangat bekerja di bidangnya. sains dan hukum lebih kompleks dari apa yang disebutkan di atas.
5. Perkawinan yang mubah
Perkawinan dibolehkan oleh undang-undang bagi orang-orang yang mempunyai harta sendiri, namun jika belum menikah maka mereka tidak takut berzina dan kalaupun menikah tidak takut menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istrinya. Pernikahan dilakukan hanya untuk memuaskan nafsu dan kesenangan semata, bukan untuk tujuan membina keluarga dan menjaga keamanan kehidupan beragama.
Rukun PerkawinanÂ
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan (ibadah), dan sesuatu yang termasuk dalam rangkaian amalan (ibadah), seperti mencuci muka saat mandi dan takbiratul ihrom dalam shalat. Contoh lainnya adalah hadirnya calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, dalam perkawinan, dan sebagainya. Semua itu merupakan sesuatu (rukun) yang wajib ada dalam suatu karya (ibadah).Â
Jadi jika sesuatu (rukun) tidak ada maka hasil kerja (ibadah) tidak ada nilainya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan bernilai atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), namun ada pula yang tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan (ibadah), misalnya menutup aurat ketika shalat, menjadi Muslim untuk masa depan calon pengantin, dll.Â
Menurut mayoritas ulama, keselarasan merupakan sesuatu yang harus dicapai guna mewujudkan hakikat seseorang, baik di dalam maupun di luar diri. Â Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk bagian hakikat. Mengenai rukun nikah ada beberapa pendapat sebagai berikut:Â
a. Menurut ulama Jumhur, rukun perkawinan ada empat, yaitu ijab kabul (shighat), calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dan wali.Â
b. Menurut al-Zubaili, diantara sekian banyak rukun nikah yang ada, hanya ada dua rukun nikah yang disepakati oleh para ulama fiqh, yaitu ijab kabul dan kabul, sedangkan yang lainnya hanya syarat-syarat nikah.
c. Menurut al-Girnati al-Maliki, bahwa rukun perkawinan shighat (ijab dan Kabul).Â
d. Menurut an-Nawawi, rukun perkawinan itu ada empat, yaitu ijab kabul (shighat), calon pengantin, saksi, dan dua orang saksi.Â
e. Menurut al-Shirazi, rukun nikah tidak disebutkan secara jelas, ia hanya menyebutkan beberapa hal yang harus dilengkapi agar suatu perkawinan sah, yaitu harus ada wali, harus ada saksi, harus ada seorang saksi, kedua mempelai dan harus mempunyai akad.Â
f. Menurut Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, perkawinan mempunyai lima rukun: suami, istri, wali, dua orang saksi, dan akad (shighat).Â
Syarat-syarat sahnya perkawinan
Syarat-syarat perkawinan yang sah adalah:
1. Pengantin halal menikah dengan laki-laki yang akan menjadi suaminya.
2. Dua orang saksi laki-laki hadir.
3. Wali mempelai wanita adalah orang yang melaksanakan akad. Syarat ketiga ini dihormati oleh umat Islam di Indonesia dan sejalan dengan pandangan Syafii, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syubrumah.
Perempuan yang haram dinikahÂ
Haram dinikahi selamanya:
1. Perempuan haram dinikah karena hubungan nasab
a. Ibu,
b. Anak perempuan,
c. Saudara perempuan kandung (seayah dan seibu),
d. Bibi,
e. Keponakan perempuan,
2. Perempuan haram dinikah karena hubungan susuan
a. Ibu susuan,
b. Nenek susuan,
c. Bibi susuan,
d. Keponakan perempuan susuan,
e. Saudara perempuan sesusuan
3. Perempuan haram dinikah karena hubungan semenda
a. Mertua,
b. Anak tiri
c. Menantu
d. Ibu tiri
4. Perempuan haram dinikah karena sumpah lian
Haram dinikah untuk sementara
1. Mengumpulkan antara dua perempuan bersaudara menjadi istri seseorang.
2. Perempuan dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain,
3. Perempuan sedang dalam menjalani masa iddah,
4. Perempuan yang ditalak tiga kali
5. Perkawinan orang yang sedang ihram,
6. Kawin dengan pezina,
7. Mengawini wanita musyrik.
8. Kawin dengan lebih dari empat istri.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia untuk dapat bereproduksi, melahirkan anak, dan memelihara eksistensinya menurut kaidah yang ditentukan oleh Islam agar kita dapat berkembang biak dengan baik dan benar menurut Islam. Tanpa pernikahan dan aturan Islam, kemungkinan besar manusia akan berzina, berganti pasangan, dan berhubungan seks bebas, sehingga seperti binatang yang selalu berganti pasangan.
Bibliography
KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H