Mohon tunggu...
Aghniya Hanifatil Hakim
Aghniya Hanifatil Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi baca buku, nonton film, dan dengerin lagu. Suka banget sama drama Korea dan topik tentang psikologi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

I Live Alone

20 Juni 2023   09:52 Diperbarui: 20 Juni 2023   10:00 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia ini banyak hal yang aku takuti, salah satunya aku takut jika suatu saat aku kehilangan seseorang yang paling aku sayangi dan mungkin hari ini adalah saatnya.

Selesai kelas mata kuliah pertama aku mendapatkan telepon dari Papa. Papa bilang Mama tiba-tiba saja terkena serangan jantung dan dilarikan ke rumah sakit. Jantungku seakan berhenti berdetak dan pikiranku kosong, yang bisa kulakukan hanya menangis sambil mencari Isyraf, pacarku.

Tak peduli menabrak beberapa orang yang sedang lalu-lalang dan mendapat makian karena yang dipikiran ku saat ini adalah aku segera menemukan Isyraf. Kulihat dirinya sedang mengobrol dengan Azkia yang merupakan sahabatku di taman depan fakultas kedokteran, lalu aku segera menghampirinya.

"Isyraf," panggilku lirih. Merasa terpanggil Isyraf melihat ke arahku dan mendapati diriku sudah menangis tersedu-sedu.

"Kai, kamu kenapa?" tanya dirinya dengan nada khawatir, lalu membawaku ke dalam pelukannya.

"Kai, lo kenapa?" Azkia yang berada di samping Isyraf ikut bertanya dengan nada khawatir.

Aku tidak bisa menjawab keduanya, yang aku lakukan hanya menangis di dalam pelukan Isyraf.

"Mama Syraf- Mama kena serangan jantung Syraf- Mama-" aku tidak bisa meneruskan kata-kataku, rasanya terlalu berat.

Sepertinya Isyraf paham, ia langsung memelukku semakin erat dan mengelus punggungku untuk memberikan ketenangan.

"Ayo kita ke rumah sakit ya, ketemu Mama!" ajak Isyraf dengan lembut, lalu ia merangkulku menuju mobilnya diikuti oleh Azkia. Wanita itu juga sama shock-nya setelah mendengar ucapanku.

Tiba di mobil, Isyraf langsung duduk di bangku kemudi sedangkan aku dan Azkia berada di bangku belakang. Selama perjalanan aku terus memikirkan hal-hal yang menakutkan, seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan Azkia mengelus telapak tanganku dengan lembut, memberikan ketenangan.

"Tante Alya pasti baik-baik aja, Kai." Ucapnya berusaha menenangkanku, tetapi itu tindakannya tidak sepenuhnya membuat pikiranku tenang.

Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dari kampus ke rumah sakit di mana Mama dilarikan. Sesampainya di rumah sakit aku segera menuju meja resepsionis menanyakan di mana ruangan Mama berada, setelah mendapatkan jawaban aku segera berlari diikuti oleh Azkia dan juga Isyraf. Tibanya di depan ruangan aku melihat Papa sedang berbicara dengan dokter.

"Pa! Gimana Mama?" tanyaku penuh harap bahwa Mama baik-baik saja.

Mendengar pertanyaanku Papa tersenyum sendu dan menggeleng. Tahu apa arti dari senyuman Papa itu, air mataku jatuh semakin deras. Melihat senyuman sendu Papa aku merasa duniaku runtuh seketika.

Aku tidak percaya Mama pergi secepat ini karena pagi tadi Mama masih tersenyum cerah kepadaku, pagi tadi aku masih bisa merasakan masakan Mama yang sangat lezat, pagi tadi aku masih mendengar celotehan Mama, pagi tadi..

"Gak mungkin Pa! Mama tadi pagi masih senyum ke aku, pagi tadi Mama baik-baik aja Pa!" teriak ku sambil memukul dada Papa, berharap bahwa yang ia katakan tidaklah benar.

Aku melihat Papa hanya bisa menunduk dalam. Aku terduduk lemas, menangis sejadi-jadinya. Tolong siapapun! Tolong bilang kepadaku ini semua hanya mimpi! Tolong bangunkan aku dalam mimpi buruk ini! Tolong...

Isyraf langsung memeluk dan aku menangis dalam pelukannya, sedangkan Azkia berusaha menenangkan Papa walau aku tahu dia juga sama sedihnya.

Mulai detik itu aku benci dengan pikiranku sendiri karena pikiran burukku membuat Mama pergi.

***

Rumahku kini sudah dipenuhi banyak orang, mereka semua datang berdoa untuk Mama. Disaat semua orang mengaji untuk Mama, aku hanya memperhatikan tubuh Mama yang sudah tidak bernyawa. Aku masih tidak percaya Mama sudah pergi meninggalkan aku selamanya. Pagi tadi Mama masih baik-baik saja, Mama masih mengomeliku karena aku bangun kesiangan, Mama masih membuatkan aku nasi goreng, Mama masih tersenyum kepadaku, tapi kenapa sekarang Mama tertidur di hadapanku dengan kondisi tidak bernyawa?

Tanpa sadar air mataku kembali jatuh. Ya Tuhan jika ini mimpi aku mohon Tuhan tolong bangunkan aku karena mimpi ini terlalu nyata bagiku Tuhan, aku takut. Kurasakan elusan pada pundakku dan ternyata itu adalah Isyraf, semakin kurasakan elusannya di pundakku semakin meyakinkan diriku bahwa yang terjadi hari ini bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang paling aku takuti.

Proses pemakaman Mama sudah selesai, kini rumah kembali sepi. Sanak-saudara sudah pulang dan akan kembali lagi nanti malam saat pengajian dan jadilah di rumah hanya ada aku dan Papa. Selepas pulang dari pemakaman Papa langsung masuk ke kamar, sedangkan aku menatap keliling rumah yang kurasakan suasananya sudah tidak sama seperti dulu. Sofa saat aku dan Mama suka menonton drama Korea bersama, dapur saat aku dan Mama suka memasak bersama, semuanya kini terasa berbeda.

Perutku tiba-tiba saja berbunyi, aku baru ingat sejak pulang dari rumah sakit aku belum mengisi perutku. Aku memutuskan membuka kulkas untuk mencari makanan yang sekiranya bisa kumasak, tapi yang kulihat adalah tupperware yang berisi ayam bumbu yang Mama buat kemarin. Tersenyum sendu, aku memutuskan mengambil itu dan memasaknya. Saat masak aku tidak bisa berhenti menangis, mengingat bahwa ini adalah masakan Mama yang akan menjadi terakhir kalinya aku makan. Selesai menggorengnya aku segera meletakannya ke atas piring dan memakannya. Saat makan pun aku menangis, rasa makanan ini tidak lagi sama karena orang yang membuatnya sudah tidak ada lagi di sini.

***

Hari ini adalah hari ketujuh setelah kepergian Mama, rumah sudah sepi lantaran pengajian sudah selesai sekitar beberapa jam yang lalu. Aku berada di kamar, menatap layar laptop yang menyala menampilkan tugas yang harus segera aku selesaikan, tetapi aku tidak ada minat untuk mengerjakannya. Waktu menunjukan pukul 22.00, aku memutuskan untuk mengambil air untuk menjernihkan pikiranku. Saat separuh jalan menuruni tangga aku mendengar samar-samar suara Papa dari arah ruang TV, sepertinya Papa sedang menelpon seseorang.

"Saya merasa bersalah sekali atas kepergian Alya. Dia terkena serangan jantung karena-" kudengar Papa menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, "Karena melihat saya dengan Lia berciuman."

Mendengar kalimat terakhir Papa kepalaku terasa pening, perutku terasa mual. Aku memeras ujung bajuku. Jadi Mama pergi karena melihat Papa berselingkuh? Tidak tahan dengan amarah yang memuncak aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, mengunci pintu. Mengambil guling yang berada di kasur, lalu melemparnya kasar dan berteriak kencang, Papa tidak akan bisa mendengarnya karena kamarku kedap suara. Berteriak sekeras mungkin dan berakhir dengan tangisan. Semuanya salah Papa, semuanya salah Papa, semuanya salah Papa!

Aku menjambak rambutku, kesal. Memutuskan mengambil Handphone untuk menelpon Azkia, tetapi hanya suara operator yang terdengar, lalu memutuskan menelpon Isyraf dan berakhir sama. Tangisanku semakin pecah mendapati dua orang yang menjadi tempat berceritaku tidak menjawab telepon secara bersamaan. Tuhan, rasanya sakit sekali mengetahui kebenaran dari kepergian Mama. Saat aku sudah berusaha rela atas kepergian Mama, justru Engkau mengungkapkan sesuatu dibalik kematian Mama. Kenapa Engkau suka sekali bermain dengan perasaan hamba Tuhan? Kenapa?

***

Kini aku sudah berdiri di depan pintu Apartemen Isyraf tanpa memberitahunya bahwa aku mengunjunginya. Aku harap ia masih terbangun karena waktu sudah menunjukan pukul 01.00 pagi. Aku menekan bel pintu Apartemennya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Masih tidak ada jawaban. Apa ia sudah terlelap? Apa aku cerita besok saja? Tapi aku benar-benar tidak ingin bertemu Papa, membayangkan wajah Papa sudah membuat perutku kembali mual. Aku tahu password Apartemennya, jadi aku memutuskan untuk masuk begitu saja.

Saat pintu Apartemen berhasil terbuka, pandanganku disambut dengan baju yang berserakan di mana-mana dan baju itu bukan hanya baju Isyraf saja, melainkan ada baju wanita. Kini pandanganku tertuju pada sepatu yang tergeletak tak jauh dari tempat aku berdiri, aku mengenali sepatu itu. Sepatu itu milik Azkia. Berusaha untuk berpikir positif, aku melangkah maju memasuki Apartemen Isyraf. Sampai di depan pintu kamarnya pikiranku sudah tidak bisa untuk berpikir jernih. Aku mengepalkan tanganku begitu keras hingga kuku aku memutih, mengambil sepatu Azkia yang berada di dekat pintu masuk, lalu melemparkannya ke pintu kamar Isyraf.

"Bajingan! Kalian berdua sama aja!" pekikku penuh dengan amarah, lalu segera meninggalkan Apartemen Isyraf dengan perasaan kecewa.

***

Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah anugerah dan besok adalah misteri.

Aku setuju dengan kutipan itu, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, mungkin bukan besok saja, tetapi beberapa menit ke depan. Dulu aku merasa hidupku akan baik-baik saja karena mempunyai keluarga harmonis, pacar yang pengertian dan juga sahabat yang baik, tapi ternyata aku salah. Orang yang justru aku pikir tidak akan pernah menyakitiku, kenyataannya mereka menyakiti disaat yang bersamaan. Lucu ya dunia.

Aku menatap layar laptopku yang menampilkan search google desa Argalingga yang bertempat di Majalengka. Setelah mengetahui semua yang terjadi aku memutuskan untuk menenangkan diriku. Rencananya aku akan menetap di Argalingga untuk waktu yang tidak bisaku tentukan. Aku juga sudah mengecek saldo tabunganku dan kurasa itu cukup jika ditambah dengan uang dari hasil penjualan bajuku, beberapa barang yang sekiranya tidak lagi kubutuhkan dan menjual handphoneku untuk kehidupanku di sana. Aku sudah mengeluarkan baju yang akan aku bawa, membawa satu sendal jepit dan sepatu, membawa alat mandi dan peralatan makan dan alat masak, tidak semua aku bawa hanya beberapa yang sekiranya akan aku butuhkan di sana. Aku sudah memutuskan akan pergi besok pagi-pagi buta, sebelum Papa bangun.

***

Pukul 03.45 pagi aku sudah rapi, lalu segera memesan ojek online untuk membawaku ke terminal Bus Primajasa. Perjalanan dari rumahku ke terminal bus lumayan memakan waktu lama, maka dari itu aku memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali karena jadwal keberangkatan bus primajasa pukul 05.00.

Sesampainya di terminal aku memutuskan untuk membeli makanan terlebih dahulu karena aku belum sempat sarapan dan juga membeli beberapa cemilan untuk di perjalanan. Bus berangkat pukul 05.05 sedikit telat lima menit dari jadwal keberangkatannya.

Sebenarnya aku tidak mengetahui apa-apa tentang Argalingga, bahkan aku baru mendengar nama daerah itu. Alasan memilih Argalingga sebagai tempat menenangkan diri karena perjalanan dari Jakarta tidak begitu memakan ongkos banyak, jika dibandingkan dengan aku ke Yogyakarta dan setelah aku mengetahui bahwa Argalingga merupakan desa yang indah dan juga berada di dekat kaki gunung Ciremai, aku memutuskan untuk pergi ke sana.

Selama perjalanan aku tertidur karena semalam sebelum berangkat aku sama sekali tidak tertidur akibat mempersiapkan barang-barang yang akan aku bawa. Aku terbangun hanya saat bus berhenti di tempat istirahat, lalu kembali tertidur saat bus kembali berjalan. Entahlah, aku merasa sangat lelah secara fisik dan juga mental. Lagipula jika aku tertidur, sejenak aku melupakan semua hal yang menyakitkan.

Aku terbangun karena merasakan pundakku ditepuk, rupanya itu abang kenek. Ia memberitahu bahwa tujuanku sedikit lagi akan sampai. Sebelum bus berangkat aku sudah terlebih dahulu bilang ke abang kenek tentang tujuanku dan aku yang tidak tahu apa-apa, lalu abang kenek memberitahuku rute untuk pergi ke Argalingga. Aku juga memintanya untuk memberitahuku jika hampir dekat dengan pemberhentianku.

Dengan masih setengah sadar aku segera bersiap-siap untuk turun. Bus berhenti, aku segera turun dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada abang kenek. Aku di turunkan di terminal Maja, katanya jika aku ingin ke Argalingga aku harus mencari kendaraan untuk pergi ke sana dari terminal Maja, tapi aku tidak tahu kendaraan apa yang akan membawaku ke sana karena kata abang kenek tidak ada kendaraan umum yang bisa membawaku ke sana. Waktu masih menunjukan pukul 08.00,  jadi aku memutuskan untuk berjalan-jalan sekaligus menghirup udara segar dipagi hari. Mengetahui bahwa terminal Maja dekat dengan pasar membuat cacing diperutku berbunyi. Akibat hanya sarapan dengan roti dan tertidur selama perjalanan, jadi aku memutuskan mampir ke salah satu warung yang menjual nasi timbel.

Langsung memesan satu porsi dan rasa nasi timbelnya sangat enak, apa mungkin karena aku lagi lapar juga mungkin? Tapi serius ini rasanya sangat enak, jadi ingin menambah porsi. Setelah selesai makan dan membayar, aku juga menanyakan ke ibu penjual tentang rute menuju Argalingga. Ibu pemilik warung nasi timbel itu memberitahu, jika ingin ke Argalingga harus naik ojek dari sini, tapi harga ojeknya pasti mahal. Mendengar ucapan sang ibu penjual membuatku sedikit putus asa. Sebenarnya bisa saja aku pergi naik ojek, tapi memikirkan harga yang sangat mahal dan aku yang harus menghemat sedikit membuatku bimbang. Jadi aku memutuskan untuk berjalan kembali sembari memikirkan bagaimana aku menuju ke Argalingga.

Membawa carrier yang begitu besar dan berat sedikit membuatku lelah, selama berjalan aku masih berpikir panjang, apa aku harus naik ojek atau nekat berjalan kaki saja ke sana. Sampai mobil bak tiba-tiba saja berhenti di sampingku.

"Bade kamana, Neng?" tanya sopir mobil itu, parasnya masih muda mungkin umurnya tidak begitu jauh denganku.

"Kenapa Mas?" tanyaku kembali karena aku tidak mengerti apa yang dia tanyakan.

Seperti mengerti bahwa aku tidak paham apa yang ia tanyakan, ia kembali bertanya,"Mau kemana, Eneng? Bawaanya keliatan berat. Neng teh, mau muncak di gunung Ciremai?"

"Oh, bukan Mas. Saya mau ke Argalingga." Sanggahku.

"Kebetulan atuh saya juga tinggalnya di Argalingga, ini baru aja pulang dari nganterin sayuran. Bareng wae atuh Neng, keliatannya Neng juga kebingungan," tawarnya.

Sebenarnya aku sedikit ragu menerima tawaran dari orang asing, tapi kondisinya saat ini sangat mendesak, jadi mau tidak mau aku menerima tawarannya sambil berdoa dalam hati bahwa lelaki ini bukan orang jahat.

Selama diperjalanan kami saling berkenalan. Nama dari lelaki yang berbaik hati memberikan aku tumpangan adalah Galih. Awalnya ia ingin aku memanggil namanya saja karena ia pikir usia kita tidak beda jauh, tapi mengetahui bahwa umurnya ternyata 25 tahun yang berarti 4 tahun lebih tua dari aku, aku memutuskan untuk memanggilnya a' Galih. A' Galih lulusan UNPAD Fakultas Pertanian Prodi Agribisnis dan sekarang kesibukannya mengurus perkebunan milik almarhum kedua orang tuanya. Ia juga bertanya padaku alasan aku pergi ke Argalingga dan aku hanya menjawab untuk liburan saja, aku juga menyebutkan namaku adalah Ila, sebenarnya nama Ila juga diambil dari namaku Kaila. Sengaja aku memberitahu a' Galih namaku Ila dibandingkan Kai karena semenjak apa yang terjadi pada diriku kemarin aku jadi membenci nama panggilan Kai.

"Oiya a', di desa Argalingga ada rumah yang dikontrak gak?" tanyaku. Ingat alasan aku ke Argalingga sebenarnya untuk kabur, jadi tidak mungkin aku tidur di hotel ataupun vila yang pasti biayanya akan cukup mahal.

"Ada di samping rumah saya. Kamu mau? Kebetulan saya kenal dengan pemiliknya." Tawarnya dan tentu saja aku sangat antusias mengangguk.

***

Sampai di rumah yang a' Galih maksud pemiliknya juga sudah ada karena saat a' Galih menawarkan ia segera menelpon pemilik rumah tersebut. Aku diajak untuk melihat-lihat dalam rumah, terdapat dua kamar, satu kamar mandi, dan dapur. Harga nya Rp 8.500.000, mengingat uang yang aku bawa adalah sekitar 20 juta untuk perbekalan kehidupanku di sini, aku memutuskan untuk mengambilnya.

Rumah masih kosong dan belum ada perabotan sama sekali dan kini aku bingung harus bagaimana jika ingin tidur dan juga memasak karena tidak ada kompor dan juga kasur, sedangkan suhu di Argalingga dingin, jika tidur di lantai sudah dipastikan aku akan masuk angin. Di tengah kebingungan melanda a' Galih datang dengan membawa kasur lipat membuatku terkejut.

"A' Galih ngapain bawa kasur lipat?" tanyaku dengan nada bingung.

"Ini buat kamu tidur Ila, emangnya kamu teh mau tidur di lantai terus besok pagi masuk angin?"

"Tapi aku gak enak jadi ngerepotin a' Galih, aku kan bisa beli."

Bohong. Sebenarnya dalam hati aku senang sekali tidak harus membeli kasur, tapi tetap saja ada perasaan tidak enak.

"Gapapa, lagipula kasur ini di rumah saya juga udah gak pernah dipake, makanya aku kasih ke kamu biar ada manfaatnya daripada dibuang." ucap a' Galih, lalu dirinya segera meletakan kasur lipat itu di ruang tengah.

"Makasih ya a' Galih. Makasih banyak." Ucapku tak henti-henti kepada a' Galih.

"Iya Ila, sama-sama." Jawabnya, "Saya juga punya kompor portable buat kamu masak, gasnya juga masih penuh, saya bawakan sekalian ya."

Sungguh a' Galih bagaikan malaikat berparas manusia. Ia sangat baik pada orang yang baru saja ia temui beberapa jam yang lalu. Aku sungguh bersyukur bertemu dengannya.

Aku tidak bisa menolak karena a' Galih segera ke rumahnya dan kembali ke rumahku dengan membawa kompor portabel. Bahkan a' Galih juga membawakan aku selimut, bantal dan juga guling agar tidak kedinginan saat tidur dan juga radio supaya aku tidak kesepian. Aku tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa kepada a' Galih, aku merasa sangat berutang budi padanya.

Selesai dengan a' Galih yang membawakan aku perabot rumah yang cukup penting, ia kembali ke rumahnya. Setelah kepergian a' Galih aku segera merapihkan barang bawaanku. di kamar tidur terdapat lemari plastik yang sepertinya sengaja ditinggalkan di sini. Aku memutuskan untuk membersihkan lemari itu dan menaruh baju-baju dan juga alat makan dan masak. Kini rumahku sudah siap untuk ditinggali beberapa waktu ke depan.

***

Aku kira dengan jauh dari mereka membuat pikiran ku sedikit lebih tenang, ternyata tidak. Setiap malam aku selalu menangis dan menyalah diriku sendiri, marah atas apa perlakuan Papa yang selama ini berselingkuh dari Mama, perasaan sakit karena dikhianati oleh sahabat dan juga pacarku. Semua perasaan sedih, marah, kecewa, semuanya masih terasa jelas. Bahkan saat aku jauh dari mereka.

Sudah hampir sebulan aku tinggal di Argalingga. Kegiatanku selama satu bulan tinggal di sini; jogging pagi untuk menjernihkan pikiran, setelah jogging aku ke pasar, memasak untuk sarapan, baca buku di siang hari dan tanpa sengaja terlelap, lalu terbangun di sore hari  dan segera memasak untuk makan malam, dan mendengarkan radio, begitu seterusnya. Hubungan aku dan a' Galih juga semakin dekat, kadang aku suka membantu a' Galih di kebunnya dan ikut mengantarkan sayur ke pasar, aku juga suka memberi makanan yang aku masak kepada a' Galih sebagai tanda terima kasihku kepadanya karena sudah membantuku sejak awal pindah sampai saat ini. Iya, a' Galih masih membantuku. Aku ingat sekali saat itu hujan dan aku harus menjemur pakaianku, lalu dengan baik hati a' Galih menawarkan aku menggunakan mesin penggeringnya supaya bajuku tidak bau apek. A' Galih sangat membantuku karena ia sering membantu membuat aku tidak begitu merasa kesepian tinggal di sini.

Seperti yang aku bilang, aku suka ikut a' Galih mengantarkan sayuran ke pasar. Hari ini aku memutuskan ikut lagi. A' Galih biasanya mengantarkan sayuran ke pasar Cigasong, lalu setelah mengantarkan sayuran kami biasanya sarapan joneng (nasi kuning dalam bahasa Sunda) sudah menjadi kebiasaan kami berdua jika pulang dari mengantarkan sayuran pasti kami sarapan joneng. Waktu pertama kali makan joneng aku benar-benar terkejut karena lauknya hanya tempe orek serundeng dan gorengan, walau lauk-pauknya hanya sedikit tidak sebanyak nasi kuning pada umumnya, tapi rasanya enak banget. Salah satu alasan aku suka ikut a' Galih mengantar sayuran adalah sarapan joneng.  

Biasanya setelah mengantar sayuran dan sarapan kami memutuskan untuk langsung pulang, tapi hari ini a' Galih mengajakku pergi ke Terasering Panyaweuyan, a' Galih bilang ia terlalu sering melihatku di rumah jadi ia memutuskan untuk mengajakku ke sana dan a' Galih juga bilang bahwa tempat tersebut sangat indah dan ia jamin aku pasti akan suka. Melewati jalan menanjak yang berkelok-kelok cukup menyeramkan dan membuatku sedikit pusing, tapi semua itu terbayarkan dengan melihat pemandangan yang begitu memanjakan mata. A' Galih benar pemandangan di sini begitu indah dan rasanya aku tidak ingin pulang.

Dengan membayar tiket masuk seharga Rp 5.000,00 terbilang cukup murah dengan pemandangan yang begitu indah dan banyak juga spot foto yang indah dan instagramable bahkan A' Galih sempat memfotoku dengan kamera handphonenya. Kami menghabisakan waktu dengan banyak foto-foto di sana karena sangat sayang jika tidak mengambil gambar yang banyak. Aku juga meminta tolong  pada a' Galih untuk mencetak fotoku sebagai kenang-kenangan. Setelah puas dengan foto-foto kami memutuskan melihat pemandangan di balkon yang tersedia.

"A' Galih pernah gak menyalahkan diri sendiri?" tanyaku, memulai percakapan di antar kami berdua selama hening kurang lebih sepuluh menit karena menikmati pemandangan yang indah di depan kami.

"Pernah. Waktu kedua orang tua saya meninggal." Jawabnya dengan nada sendu.

A' Galih menarik nafas panjang, siap untuk menceritakan dan aku memasang telingaku lebar untuk mendengarkan ceritanya. "Waktu saya masih kuliah di Sumedang, orang tua saya sering mengunjungi saya di kosan hampir setiap satu bulan sekali. Biasanya orang tua saya selalu mengabari saya kalau mau berkunjung, tapi hari itu datang tiba-tiba tanpa kabarin saya. Setiap orang tua saya mau kembali lagi ke Argalingga pasti selalu saya antar, tapi karena hari itu mereka datang mendadak dan saya lagi banyak tugas, saya gak bisa antar mereka pulang," a' Galih menjeda ceritanya untuk mengambil nafas, "Sampai akhirnya saya tahu orang tua saya kecelakaan dan menjadi korban yang tidak selamat. Saya marah pada diri saya, marah sama sopir mikro, marah sama keadaan, bahkan saya marah pada Tuhan. Sampai rasanya saya mau bunuh diri saat itu karena saya gak punya siapa-siapa lagi selain mereka, tapi akhirnya teman kosan saya menyadarkan saya, jika saya seperti itu terus orang tua saya akan sedih di atas sana. Dia juga bilang pada saya, kalau saya nyerah pada hidup saya siapa yang akan meneruskan kebun orang tua saya. Perkataannya membuat pikiran saya terbuka, kalau saya gak bisa hidup dengan perasaan bersalah dan marah seterusnya."

Aku tertunduk sendu mendengar cerita a' Galih.

"Kalau kamu sendiri? Alasan sebenarnya kamu ke Argalingga itu apa?" tanya a' Galih penasaran.

Sejujurnya aku tidak ingin menceritakan tentang diriku, tapi aku merasa bahwa a' Galih adalah orang yang bisa kupercaya jadi aku menceritakan semuanya, mulai dari Mama meninggal, mendengar percakapan Papa dan melihat pacar dan sahabatku berselingkuh.

"Proses menyembuhkan diri sendiri itu butuh waktu yang lama. Gapapa untuk sekarang kamu menikmati rasa sedih, kecewa, marah. Sampai akhirnya kamu sadar kamu gak bisa hidup dengan perasaan seperti itu selamanya," a' Galih menatapku sebelum ia melanjutkan, "Tapi kalau kamu lagi mengingat masa itu dan kamu merasa sedih, hampirin saya ya Ila. Saya tahu rasanya memendam perasaan sedih sendirian itu gak enak, maka dari itu kalau kamu lagi merasa sedih kamu hampirin saya ya, bagi-bagi ke saya rasa sedihnya."

Mendengar ucapan a' Galih membuat air mataku jatuh, aku terharu dengan penuturannya. Selama ini aku selalu memendam semua sendiri, tidak ada orang yang bisa aku ajak berbagi karena setiap merasa sedih aku selalu membagi perasaan itu ke Mama, Isyraf dan Azkia, tapi kali ini aku tidak bisa. Setelah mendengar ucapan a' Galih aku merasa bahwa di dunia ini masih ada orang yang bersedia mendengar ceritaku dan membuatku tidak merasa kesepian.

***

Kata-kata a' Galih masih berputar dalam pikirannku dan membuat pikiranku terbuka. A' Galih benar, aku tidak bisa hidup dengan perasaan bersalah, marah, kecewa selamanya. Aku akhirnya sadar hidup penuh dengan perasaan marah dan dendam tidak akan membuat hidupku tenang. Aku juga sadar bahwa apa yang terjadi kemarin adalah takdir dari Maha Kuasa. Jika Papa tidak selingkuh pun pasti Mama juga tetap akan pergi meninggalkan aku, jika aku tidak cuek dengan Isyraf dia pasti akan tetap selingkuh karena Tuhan ingin menunjukan padaku bahwa Isyraf bukanlah lelaki yang pantas untukku dan Azkia bukan sahabat yang baik untukku.

Kini di hadapanku sudah ada kertas dan juga pulpen. Aku memutuskan untuk menulis surat kepada Papa, Isyraf dan juga Azkia. Aku merasa alasan aku semakin hari semakin marah kepada mereka karena aku memendam semuanya, perasaan itu terus timbul semakin besar karena aku tidak pernah sepenuhnya mengungkapkan apa yang aku rasakan. Jadi aku berencana untuk mengirim mereka surat, menulis apa yang aku rasakan selama sebulan belakangan, memaki mereka dan juga bilang bahwa aku sudah memaafkan apa yang telah mereka lakukan, aku bilang pada Isyraf dan Azkia bahwa aku tidak ingin mengenal mereka lagi dan bertemu dengan mereka, dan aku juga akan hidup menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam surat untuk Papa aku menyuruhnya untuk tidak mencariku dan mengkhawatirkanku karena aku baik-baik saja. Tiga surat sudah selesai dan sudah tertulis sesuai dengan alamatnya masing-masing. Besok aku akan mengirimkannya.

***

Hari ini aku kembali ikut a' Galih mengantarkan sayuran ke pasar. Seperti biasa selesai mengantar sayuran kami sarapan joneng terlebih dahulu. Kami biasanya sarapan joneng di warung langganan kami, yaitu, warung Uwa Sri.

"A' Galih nanti sore sibuk gak?" tanyaku.

A' Galih yang sedang mengunyah bala-bala segera menelannya sebelum menjawab, "Kayaknya engga. Kenapa La?" tanyanya kembali.

"Aku mau minta tolong a' Galih anterin aku ke kantor pos," jawabku, "Sekalian main ke Alun-Alun Majalengka. Sekarang kan malam minggu, pasti Alun-Alun rame. Aku juga mau cobain kuliner yang ada di sini a'." Jawabku dengan nada antusias, membuat a' Galih tertawa.

"Iya saya temenin, tapi traktir ya," ucapnya dengan nada menggoda membuat aku tertawa keras.

"Iya, aku traktir. A' Galih mau apa aja aku beliin." Ucapku, kali ini kami berdua sama-sama tertawa.

***

                Sesuai dengan permintaanku pagi tadi, sore ini kami berangkat menuju Majalengka menggunakan motor Mio M3 125 punya a' Galih. Awalnya a' Galih ingin mengantarkan menggunakan mobil yang biasanya dipakai untuk mengantarkan sayuran, tetapi aku memintanya untuk membawa motor saja karena aku ingin menikmati segarnya angin. Kami berangkat pukul 16.00, perjalanan dari Argalingga menuju Majalengka memakan waktu sekitar 49 menit, jadi kami tiba sekitar pukul 16.49 hampir jam lima sore.

Kantor pos cukup ramai jadi cukup memakan waktu lama kami berada di sana. Kantor pos tepat berada di depan Alun-Alun, jadi setelah selesai urusan di kantor pos kami langsung menuju Alun-Alun. Kami menghabiskan banyak waktu dengan membicarakn banyak hal, mulai dari makanan favorit, lebih suka bubur diaduk atau tidak diaduk, sayuran apa yang paling kami suka dan kami tidak suka, dan masih banyak lagi, sampai tak terasa adzan maghrib berkumandang, kami memutuskan untuk sholat terlebih dahulu di masjid Agung Al-Imam, lalu melanjutkan agenda kami, yaitu kulineran.

  Tidak banyak makanan yang kami beli, kami hanya membeli lumpia basah, telor gulung, jalakotek (seperti cireng yang berisi tahu), dan tahu gejrot. Setelah membeli semuanya kami makan di bangku pinggir Alun-Alun.

"Kalau kamu di sini kuliah kamu gimana, La?" tanya a' Galih, lalu ia menggambil telor gulung dan memakannya.

"Paling juga di DO otomatis a' karena gak bayar UKT." Jawabku dengan mudahnya.

"Terus kamu gak mau lanjut kuliah lagi?"

Aku bergumam, "Pingin sih, tapi enggak sekarang. Mungkin tahun depan? Atau tahun depannya lagi? Aku masih mau di sini dulu. Lagipula waktu aku masih ada 3 tahun lagi buat daftar kuliah." Jelasku.

Selesai memakan jajanan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan keliling daerah sekitaran Alun-Alun. Menikmati indahnya malam di Kota Majalengka. Selama berjalan tidak ada obrolan diantara kami berdua, kami sama-sama tenggelam dalam suasana hening, sampai tangan kami berdua tak sengaja bersentuhan membuatku sedikit terkejut. Tiba-tiba suasana hening berubah menjadi canggung.

"La," panggil a' Galih.

"Iya a'?"

A' Galih terdiam sebentar sebelum kembali melanjutkan, "Saya- saya boleh pegang tangan kamu?" tanyanya dengan hati-hati.

Aku cukup terkejut dengan pertanyaan a' Galih, tapi disatu sisi aku senang karena dia tidak gegabah langsung menggenggam tanganku, melainkan meminta izin terlebih dahulu kepadaku, aku merasa sangat dihormati.

Sambil menahan senyum, aku mengangguk memberi izin kepada a' Galih. Melihat responku ia tersenyum, lalu mengambil tanganku dan mengapitnya. Kami berjalan dengan berpegangan tangan dan aku tidak bisa berhenti tersenyum begitupun a' Galih. 

"Kamu suka seblak gak, La?" tanya a' Galih memulai percakapan di antara kami berdua.

"Suka, tapi jarang makan." Ujarku.

"Kalau gitu sekarang mau makan seblak gak? Saya denger di daerah sini ada seblak enak banget, mau nyoba?" ajak a' Galih.

"Boleh. Aku jadi penasaran seenak apa seblaknya" ujarku dan a' Galih tersenyum.

Kami pun segera pergi ke kedai seblak yang a' Galih maksud sambil bergandengan tangan, kali ini suasana di antara kami sudah tidak canggung lagi, bahkan kami menganyunkan kedua tangan kami yang bergandengan sambil tertawa karena lawakan a' Galih.

Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah anugerah, dan besok adalah masa depan. Itu menjadi quote favoritku sejauh ini. Sebulan ke belakang aku melewati masa-masa yang cukup sulit, dari perginya Mama yang tiba-tiba, mengetahui bahwa selama ini Papa berselingkuh, pacarku dan sahabatku main di bekalang, menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi, marah dengan keadaan. Sampai akhirnya aku berada dititik mau memaafkan semua yang terjadi dan berdamai dengan keadaan, mungkin belum sepenuhnya, tapi setidaknya aku tidak begitu berlarut-larut seperti diriku yang kemarin. Aku juga berterima kasih kepada a' Galih karena ia selalu membantuku, menawarkan diri untuk mendengar ceritaku, dan menyadarkanku pentingnya berdamai dengan keadaan.

Aku juga sangat berterima kasih kepada diriku karena bisa diajak melewati masa-masa sulit, walau rasanya berat, tapi ia tetap mau bertahan sampai saat ini. Terima kasih diriku. Aku juga berharap semoga orang-orang di luar sana yang mengalami masa-masa sulit segera berdamai dengan masa lalu dan mau memaafkan kesalahan-kesalahan orang-orang yang pernah menyakitinya.

Karena manusia yang memaafkan dan berdamai dengan masa lalunya adalah manusia yang berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun