"Kenapa Mas?" tanyaku kembali karena aku tidak mengerti apa yang dia tanyakan.
Seperti mengerti bahwa aku tidak paham apa yang ia tanyakan, ia kembali bertanya,"Mau kemana, Eneng? Bawaanya keliatan berat. Neng teh, mau muncak di gunung Ciremai?"
"Oh, bukan Mas. Saya mau ke Argalingga." Sanggahku.
"Kebetulan atuh saya juga tinggalnya di Argalingga, ini baru aja pulang dari nganterin sayuran. Bareng wae atuh Neng, keliatannya Neng juga kebingungan," tawarnya.
Sebenarnya aku sedikit ragu menerima tawaran dari orang asing, tapi kondisinya saat ini sangat mendesak, jadi mau tidak mau aku menerima tawarannya sambil berdoa dalam hati bahwa lelaki ini bukan orang jahat.
Selama diperjalanan kami saling berkenalan. Nama dari lelaki yang berbaik hati memberikan aku tumpangan adalah Galih. Awalnya ia ingin aku memanggil namanya saja karena ia pikir usia kita tidak beda jauh, tapi mengetahui bahwa umurnya ternyata 25 tahun yang berarti 4 tahun lebih tua dari aku, aku memutuskan untuk memanggilnya a' Galih. A' Galih lulusan UNPAD Fakultas Pertanian Prodi Agribisnis dan sekarang kesibukannya mengurus perkebunan milik almarhum kedua orang tuanya. Ia juga bertanya padaku alasan aku pergi ke Argalingga dan aku hanya menjawab untuk liburan saja, aku juga menyebutkan namaku adalah Ila, sebenarnya nama Ila juga diambil dari namaku Kaila. Sengaja aku memberitahu a' Galih namaku Ila dibandingkan Kai karena semenjak apa yang terjadi pada diriku kemarin aku jadi membenci nama panggilan Kai.
"Oiya a', di desa Argalingga ada rumah yang dikontrak gak?" tanyaku. Ingat alasan aku ke Argalingga sebenarnya untuk kabur, jadi tidak mungkin aku tidur di hotel ataupun vila yang pasti biayanya akan cukup mahal.
"Ada di samping rumah saya. Kamu mau? Kebetulan saya kenal dengan pemiliknya." Tawarnya dan tentu saja aku sangat antusias mengangguk.
***
Sampai di rumah yang a' Galih maksud pemiliknya juga sudah ada karena saat a' Galih menawarkan ia segera menelpon pemilik rumah tersebut. Aku diajak untuk melihat-lihat dalam rumah, terdapat dua kamar, satu kamar mandi, dan dapur. Harga nya Rp 8.500.000, mengingat uang yang aku bawa adalah sekitar 20 juta untuk perbekalan kehidupanku di sini, aku memutuskan untuk mengambilnya.
Rumah masih kosong dan belum ada perabotan sama sekali dan kini aku bingung harus bagaimana jika ingin tidur dan juga memasak karena tidak ada kompor dan juga kasur, sedangkan suhu di Argalingga dingin, jika tidur di lantai sudah dipastikan aku akan masuk angin. Di tengah kebingungan melanda a' Galih datang dengan membawa kasur lipat membuatku terkejut.
"A' Galih ngapain bawa kasur lipat?" tanyaku dengan nada bingung.