Mohon tunggu...
AG RONALD
AG RONALD Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bakrie

Selalu ada harapan dan kekuatan yang lebih besar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Representasi Pramono Anung di Instagram Dalam Merangkul Warga Jakarta

8 Januari 2025   16:08 Diperbarui: 8 Januari 2025   16:08 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kandidat Gubernur Jakarta Pramono Anung  ditampilkan dalam blusukannya ke Masyarakat Miskin Kota Melalui Konten Instagram 

Sebuah unggahan di akun Instagram @pramonoanungw pada 7 September 2024 menampilkan Pramono berkunjung ke Pengangsaan Dua, Kelapa Gading. Ia bertemu berdialog dari hati ke hati untuk mendengar keluhan masyarakat. Keterangan foto tersebut mengutip,”Saya berkomitmen untuk mendengar, memahami dan mencari solusi untuk warga (#JakartaMenyala).

Unggahan ini bukan sekadar aktivitas sosial, tetapi juga bagian dari strategi komunikasi politik untuk membangun citra egaliter dan merakyat. Esai ini akan menganalisis bagaimana citra tersebut dipresentasikan melalui unggahan-unggahan di Instagram pribadi Pramono Anung khususnya yang berkaitan dengan blusukannya di masyarakat miskin kota."

Media sosial, khususnya Instagram, dapat menjadi alat yang sangat ampuh untuk membentuk persepsi publik dan membangun hubungan yang lebih personal antara politisi dan pemilih (Chadwick & May, 2003).Media sosial, khususnya Instagram, kini menjadi arena penting bagi politisi untuk membangun citra, berinteraksi dengan publik, dan menyebarkan pesan-pesan politik. Fenomena ini semakin menguat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, di mana para kandidat, termasuk Gubernur Jakarta, memanfaatkan platform digital untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.

Salah satu strategi yang kerap ditampilkan adalah kegiatan "blusukan," yaitu kunjungan langsung ke masyarakat, yang kemudian didokumentasikan dan dipublikasikan melalui konten Instagram. Istilah "blusukan," yang secara harfiah berarti "masuk ke dalam" atau "menyelam," merujuk pada kunjungan mendadak atau spontan yang dilakukan oleh tokoh politik ke berbagai lokasi, khususnya tempat-tempat yang dekat dengan masyarakat, seperti pasar tradisional, perkampungan, atau lokasi bencana. "Blusukan", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah memasuki suatu tempat dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu.

Artikel ini fokus mengkaji bagaimana kandidat Gubernur Jakarta, Pramono Anung  ditampilkan dalam blusukannya ke masyarakat miskin melalui konten Instagram @pramonoanungw pada periode September-November 2024. Periode ini dipilih karena merupakan masa krusial menjelang Pilkada, di mana aktivitas kampanye dan interaksi dengan masyarakat semakin intensif. Fokus pada masyarakat miskin dalam blusukan ini penting karena isu kemiskinan merupakan salah satu isu sentral dalam wacana publik dan seringkali dieksploitasi dalam kampanye politik. Bahasan dibatasi pada postingan yang relevan dengan tema blusukan.

Analisis wacana digunakan sebagai kerangka teoretis untuk memahami bagaimana makna dibangun dan direproduksi melalui teks dan gambar dalam konten Instagram. Analisis wacana tidak hanya melihat apa yang dikatakan atau ditampilkan, tetapi juga bagaimana cara penyampaiannya, konteks sosial-politiknya, dan implikasi ideologisnya (Fairclough, 1995). Dalam konteks ini, analisis wacana akan digunakan untuk mengidentifikasi representasi masyarakat miskin, peran Gubernur dalam interaksi tersebut, dan pesan-pesan politik yang ingin disampaikan melalui konten Instagram.

Artikel ini relevan karena memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana media sosial digunakan dalam kampanye politik di Indonesia, khususnya dalam konteks Pilkada Jakarta 2024. Dengan menganalisis konten Instagram yang menampilkan blusukan Gubernur ke masyarakat miskin, penelitian ini dapat mengungkap strategi representasi, pesan-pesan ideologis, dan implikasi politik yang terkandung di dalamnya.

Dalam analisis teks dibagi dalam tiga kategori yaitu tema visual , tema verbal dan interaksi dengan pengikut . Yang menjadi fokus pada tema visual diantaranya bagaimana foto/ video kandidat dimunculkan saat berinteraksi langsung dengan masyarakat miskin,mulai dari berjabat tangan , duduk maupun mendengarkan keluh kesah.Bagaimana pula ekspresi kandidat.

Pesan Empati dan Kepedulian

Salah satu tema yang ditonjolkan dalam unggahan @pramonoanungw adalah penekanan pada sentuhan fisik dan kedekatan emosional. Beberapa ekspresi yang menampilkan sentuhan fisik,diantaranya seperti ketika Pramono berjabat tangan, menepuk bahu atau mengelus kepala anak anak.

Pada video 26 September. Pramono saat ini datang memenuhi undangan warga untuk datang berkunjung ke Kampung Bayam. Pada saat itu, Pramono menyapa dengan ramah dan menyalami setiap orang yang hadir. Ia juga tidak segan meminta doa restu dari warga.Dari gesturnya, Pramono mau menunjukkan kehangatan dan kepedulian kepada warga. Video pada 20 September juga memperlihatkan Pramono berjabat tangan dengan warga penghuni Rumah Susun Daan Mogot.

Unggahan lainnya menampilkan gubernur berjongkok atau duduk sejajar dengan warga, terutama anak-anak dan lansia. Masih dalam video di kampung Bayam, 26 September menampilkan Pramono juga duduk sejajar dengan warga saat berdialog. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan komitmen.”Saya sudah menandatangani komitmen, untuk menyelesaikan permalasahan masyarakat miskin kota di kampung Bayam”. Gestur itu sengaja dibuat untuk menciptakan kesan setara dan menghilangkan jarak hierarki. Foto pada tanggal 8 September, menunjukkan gubernur berjongkok di samping seorang ibu yang sedang berjualan di pinggir jalan.

Pramono sering terlihat melakukan kontak mata dan memberikan senyum tulus kepada warga. Hal ini memperkuat kesan ramah dan mudah didekati. Saat diperkenalkan dalam acara dialog bersama warga Kampung Bayam di acara 26 September, ia menyebut nama warga..,” Pak Furqon, Bu Neneng.., ” mana bu Neneng?”Kandidat gubernur menyapa warga dengan menyebut nama, menunjukkan perhatian personal.

Fairclough (2003) dalam analisis wacana kritisnya menekankan pentingnya konteks sosial dalam interpretasi wacana. Interaksi yang hangat dan personal ini, dalam konteks blusukan ke masyarakat miskin, mengkomunikasikan pesan empati dan kepedulian.

Momen yang menampilkan komunikasi yang tidak berjarak,  diunggahnya pada 25 Oktober. Saat itu pram, menarik seorang ibu yang lagi mendengarkannya. ” Sini bu... ,”Pram menariknya dan mengalungkan selendang khas Betawi.  Rupanya ibu itu  hendak menyampaikan keluh kesah seperti mewakili warga sekitar mengenai melonjaknya harga sembako. Pram kemudian merespons dan menyampaikan janji usahanya   menurunkan harga beras, Ia kemudian memancing ibu tadi dengan gurauan,”      Lebih ganteng aslinya atau (yang) di foto?”. Tanpa malu malu, ibu itu menjawab,” Yang di gambar agak lebih muda.. ya,,tapi yang ini lebih jantan”. Disambut gerr Pram dan warga sekitar. Suasana menjadi cair dan akrab.

Dari sisi busana, gubernur sering mengenakan pakaian kasual dan sederhana, dilengkapi dengan cukin atau selendang khas Betawi. Pilihan ini dijelaskan sebagai "mencerminkan kesetaraan dengan masyarakat yang dikunjungi" dan "simbol kolaborasi Betawi."

Kontruksi visual juga diperkuat dengan latar belakang visual juga seringkali memperlihatkan kondisi lingkungan permukiman yang sederhana, memperkuat konteks blusukan di masyarakat miskin kota. Foto tanggal 28 September di Rusun Tanah Tinggi adalah salah satu contohnya.

Hall (1997) dalam konsep representasinya menjelaskan bagaimana media merepresentasikan realitas sosial. Pemilihan busana dan latar belakang visual ini secara strategis merepresentasikan gubernur sebagai bagian dari masyarakat yang dikunjunginya.

Analisis visual berfokus pada bagaimana gubernur ditampilkan secara fisik dan interaksinya dengan masyarakat. Ekspresi wajah yang ramah, senyum tulus, dan kontak mata yang intens sering digunakan untuk membangun kesan dekat dan mudah didekati. Gestur seperti berjabat tangan, menepuk bahu, berjongkok sejajar dengan anak-anak dan lansia, serta memeluk warga menunjukkan kedekatan fisik dan emosional. Pakaian yang dikenakan umumnya kasual dan sederhana, terkadang dilengkapi dengan atribut lokal seperti busana khas/ selendang, untuk memperkuat identifikasi dengan masyarakat setempat.

Beberapa video diambil dari jarak dekat,untuk memperlihatkan interaksi secara detail dan penuh kehangatan. Hal ini menciptakan kesan bahwa dirinya sebagai calon gubernur benar-benar hadir dan terlibat. Selain video saat ia mengunjungi Kampung Bayam, video serupa saat ia blusukan ke Sunter pada 21 Oktober . Ketika menyalami warga, ia bergurau dan berjoget bersama warga Sunter, Suasana cair membuat warga tak ragu menyuarakan kekhawatirannya mengenai beberapa fasilitas yang selama ini tidak berjalan lancar seperti proses KJP, dan kartu lansia yang macet. Tapi Pram senang karena semangat warga. Dalam caption-nya , Pram menyampaikan ucapan terima kasih untuk sambutan, doa, dan dulungan yang menyala.

Lebih lanjut yang menjadi fokus berikutnya adalah tema verbal. Yang menjadi poin adalah kutipan langsung dari ucapan kandidat yang berjanji membantu, memberikan solusi dan menindaklanjuti keluhan masyarakat. Juga perlu dicermati narasi yang dibangun dalam keterangan foto/video. Berikutnya pilihan kata yang dipakai apakah menggunakan kata kata yang sederhana dan mudah dipahami, termasuk memakai bahasa daerah.

Sementara dalam tema verbal, salah satu yang menonjol adalah penggunaan bahasa informal dan bahasa daerah. Dalam video yang diunggah 3 Oktober, gubernur menyampaikan pesan tentang peran pemimpin dan janjinya, menggunakan frasa "kagak ribet dah." Frasa ini, yang berasal dari bahasa Betawi, berarti "tidak repot" atau "tidak sulit." Penggunaan bahasa informal dan bahasa daerah ini bertujuan untuk menciptakan kedekatan dengan audiens, menghilangkan kesan formal dan berjarak. Pengulangan frasa ini pada 7 Oktober saat membahas tagline "Jakarta Menyala" memperkuat efek ini.

Fairclough (2003) menekankan bagaimana penggunaan bahasa sehari-hari dalam konteks politik dapat membangun solidaritas dan identifikasi dengan kelompok tertentu. Dalam konteks ini, penggunaan bahasa Betawi dan bahasa informal bertujuan membangun kedekatan dengan warga Jakarta.

Tindakan atau Solusi yang akan diambil

Unggahan terkait debat perdana pada 6 Oktober, dengan pantun dari "Bang Dul," juga merupakan penegasan komitmen. Penggunaan pantun, bentuk sastra lisan tradisional, menambah nuansa keakraban dan budaya lokal. Penegasan komitmen untuk "Jakarta yang mendukung dan memberi kesempatan yang sama bagi warganya" dan "hidup lebih baik dengan 3B: berdaya, berkeadilan, dan berkelanjutan" adalah contoh penggunaan bahasa yang persuasif untuk meyakinkan publik.

Narasi yang dibangun dalam keterangan video seringkali menyoroti kegiatan gubernur saat mendengarkan aspirasi dan keluhan warga. Unggahan tentang kunjungan ke Kampung Bayam dengan keterangan "Saya sudah menandatangani pakta integritas untuk mengembalikan hak warga Kampung Bayam" dan kunjungan ke Kali Sunter untuk "mendengarkan keluh kesah warga yang dari tahun ke tahun tidak pernah terselesaikan, yaitu banjir" memperkuat citra sebagai pemimpin yang responsif dan peduli.

Selain mendengarkan, keterangan video juga sering mengungkapkan rasa empati dan kepedulian gubernur. Respon terhadap keluhan warga Kampung Bayam ("Urusan Kampung Bayam.. Yang utama hak hidup dan hak yang diberikan negara kepada warga harus dikembalikan") dan pesan tentang ibu-ibu sebagai "sekolah pertama bagi anaknya, rumah bagi suaminya" menunjukkan upaya untuk membangun koneksi emosional dengan audiens.

Fairclough (2003) juga menekankan bagaimana politisi menggunakan bahasa untuk membangun hubungan interpersonal dengan publik. Ungkapan empati dan kepedulian adalah cara untuk menciptakan rasa percaya dan dukungan.

Dalam ungggahan video 11 Oktober ,Pramono datang mengunjungi warga Kali Sunter yang kerap kebanjiran untuk belanja masalah.”  Mendengarkan keluh kesah warga yang dari tahun ke tahun,  tidak pernah terselesaikan, yaitu banjir. Insha Allah apabila diberi amanah, penyelesaiakan menjadi prioritas demi keberlansgungan hdp warga. Bismilah (#jkt menyala). Saat berkunjung ke Kemang, ia menulis,” Mendengarkan langsung aspirasi warga di kemang, Banyak masukan berharga untuk perbaikan kota kita". Penandatanganan pakta integritas dan penyebutan "Bismillah" memperkuat komitmen dan memberikan dimensi religius pada pesan tersebut.

Lebih dari sekadar janji, beberapa unggahan juga menginformasikan tindakan atau solusi yang akan diambil. Ajakan untuk "urun rembug mengatasi banjir" dan tawaran "Balaikota sebagai tempat mengadu warga" menunjukkan komitmen untuk bertindak dan melibatkan partisipasi publik. Referensi ke program gubernur sebelumnya ("Yang baik dilanjutkan") dan penekanan pada "kesinambungan, tepat sasaran dan melanjutkan yang baik" menunjukkan pendekatan yang pragmatis dan berkelanjutan.

Interaksi dengan pengikut melalui balasan komentar dan undangan diskusi dengan pelaku industri kreatif menunjukkan keterbukaan dan keinginan untuk berdialog. Hal ini memperkuat kesan dekat dengan publik dan responsif terhadap masukan.

Dari beberapa temuan tersebut, apa representasi yang mau ditampilkan oleh kandidat? "Fairclough (1995) menekankan bahwa bahasa tidak netral, tetapi selalu terkait dengan kekuasaan dan ideologi. Dalam konteks ini, pilihan kata 'blusukan' itu sendiri, yang berkonotasi turun ke bawah dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, menunjukkan upaya gubernur untuk membangun citra yang dekat dengan rakyat."

Beberapa unggahan menampilkan sentuhan fisik, seperti jabat tangan, tepukan bahu, dan elusan kepala anak-anak (video 26 September di Kampung Bayam dan 20 September di Rusun Daan Mogot). Gestur ini, menurut deskripsi, bertujuan "menunjukkan kehangatan dan kepedulian."

Gubernur sering ditampilkan berjongkok atau duduk sejajar dengan warga, terutama anak-anak dan lansia (video 26 September di Kampung Bayam dan foto 8 September dengan ibu penjual). Gestur ini secara eksplisit dijelaskan untuk "menciptakan kesan setara dan menghilangkan jarak hierarki."

Kontak Mata dan Senyum: Gubernur sering terlihat melakukan kontak mata dan memberikan senyum tulus, memperkuat kesan ramah dan mudah didekati.

 Video diambil dari jarak dekat, memperlihatkan interaksi detail dan intim, menekankan kehadiran dan keterlibatan gubernur. Contohnya, video di Sunter (21 Oktober) yang menampilkan gubernur bergurau dan berjoget dengan warga. Video di Koja pada hari yang sama menunjukkan interaksi yang akrab dan gurauan dengan warga. Video 24 Oktober di Jakarta Utara menampilkan percakapan intens dengan lansia, dan video 25 Oktober menunjukkan gubernur memakaikan selendang Betawi kepada seorang ibu sambil mendengarkan keluh kesahnya.

Gubernur dalam blusukannya mengenakan pakaian kasual dan sederhana dengan cukin atau selendang khas Betawi, "mencerminkan kesetaraan dengan masyarakat yang dikunjungi" dan sebagai "simbol kolaborasi Betawi."

Latar belakang visual seringkali memperlihatkan kondisi lingkungan permukiman yang sederhana atau bahkan kumuh, memperkuat konteks blusukan di masyarakat miskin kota (foto 28 September). Kontras antara citra formal seorang gubernur dengan setting lingkungan yang sederhana ini menekankan pesan kedekatan dengan rakyat.

Bahasa Informal dan Daerah: Penggunaan frasa "kagak ribet dah" (3 dan 7 Oktober) menciptakan kedekatan dan menghilangkan kesan formal.

Penegasan komitmen, janji, dan ungkapan empati menggunakan bahasa yang persuasif dan menyentuh emosi. Contohnya, "Saya sudah menandatangani pakta integritas" (Kampung Bayam), "Mendengarkan keluh kesah warga" (Kali Sunter), dan "Jangan tambah bebannya" (27 September).

Narasi mengungkapkan empati dan kepedulian terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, misalnya respon terhadap keluhan warga Kampung Bayam dan pesan tentang peran ibu (27 September).

Narasi dalam caption menekankan kegiatan mendengarkan aspirasi dan keluhan warga (contoh: kunjungan ke Kampung Bayam dan Kali Sunter). Penandatanganan pakta integritas (Kampung Bayam) dan janji untuk menyelesaikan masalah banjir dan KJP yang macet memperkuat citra responsif dan peduli. Ungkapan empati dan kepedulian (contoh: pesan tentang ibu-ibu pada 27 September) membangun koneksi emosional. Ajakan "urun rembug" dan tawaran Balaikota sebagai tempat mengadu menunjukkan komitmen untuk bertindak dan melibatkan partisipasi publik. Referensi ke program gubernur sebelumnya dan penekanan pada kesinambungan menunjukkan pendekatan pragmatis.

 Beberapa unggahan menginformasikan tindakan atau solusi yang akan diambil, seperti ajakan "urun rembug mengatasi banjir" (13 Oktober) dan tawaran "Balaikota sebagai tempat mengadu warga."

Janji dan komitmen untuk menyelesaikan masalah warga, seperti di Kampung Bayam dan Kali Sunter, sering diulang.

Fairclough (2003) menekankan bagaimana pilihan kata dan narasi membentuk makna dan ideologi. Penggunaan bahasa informal, emosional, dan retoris bertujuan membangun kedekatan, empati, dan kepercayaan publik.

Wacana Sosok yang Dekat dengan Rakyat

Konten blusukan di Instagram merupakan strategi komunikasi politik yang efektif untuk membangun citra gubernur sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, peduli, dan responsif. Kombinasi representasi visual dan verbal yang strategis digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dan membangun wacana yang mendukung citra tersebut. Namun, penting untuk dicermati apakah konten tersebut benar-benar merepresentasikan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat miskin, atau lebih fokus pada pencitraan politik semata.

Untuk itulah kandidat ingin membentuk wacana: dirinya dekat dengan rakyat.  Dalam konten ig, ia secara konsisten membangun citra gubernur sebagai sosok yang dekat dan peduli dengan rakyat kecil melalui sentuhan fisik, interaksi intim, bahasa informal, dan narasi yang empatik.

Namun bila solusi tinggal janji, masyarakat menjadi tidak percaya, Konten kemudian dibuat tidak hanya fokus pada pencitraan, tetapi juga menawarkan solusi konkret dan janji untuk menyelesaikan masalah, seperti penanganan banjir, pengembalian hak warga Kampung Bayam, dan perbaikan fasilitas publik. Ajakan untuk urun rembug dan tawaran Balaikota sebagai tempat pengaduan menunjukkan komitmen terhadap partisipasi publik.

 Ideologi yang ingin dibangun adalah ideologi populis, di mana pemimpin ditampilkan sebagai bagian dari rakyat, memahami masalah mereka, dan berkomitmen untuk menyelesaikannya. Penekanan pada kesinambungan program yang baik dari gubernur sebelumnya juga menunjukkan ideologi pragmatis dan berkelanjutan.

Kesimpulan 

Dari analisis representasi gubernur dalam blusukannya melalui konten Instagram menunjukkan beberapa temuan penting:

 Konten secara konsisten membangun citra gubernur sebagai sosok yang dekat dengan rakyat, responsif, empatik, dan solutif. Citra ini dibangun melalui kombinasi representasi visual dan verbal yang saling memperkuat.

Sentuhan fisik, posisi tubuh yang sejajar, kontak mata, senyum tulus, interaksi intim, busana kasual dengan sentuhan budaya lokal (cukin Betawi), dan latar belakang lingkungan sederhana atau kumuh berkontribusi pada citra kedekatan dan kepedulian.

Penggunaan bahasa informal dan daerah, penegasan komitmen dan janji, narasi mendengarkan aspirasi dan keluhan, ungkapan empati, penyampaian solusi dan tindakan nyata, serta interaksi dengan pengikut memperkuat citra responsif dan solutif.

Konten membentuk wacana kepemimpinan populis dan pragmatis. Kepemimpinan populis menekankan kedekatan dengan rakyat, sedangkan kepemimpinan pragmatis menekankan solusi konkret, tindakan nyata, dan kesinambungan program.

Ideologi yang mendasari wacana ini adalah kombinasi dari populisme dan pragmatisme. Populisme menekankan representasi "rakyat" sebagai kekuatan moral dan politik, sedangkan pragmatisme menekankan efisiensi, efektivitas, dan hasil yang terukur.

Secara ringkas, representasi gubernur dalam konten Instagram blusukannya bertujuan untuk membangun citra sebagai pemimpin yang "merakyat," peduli terhadap masalah masyarakat miskin, dan berkomitmen untuk memberikan solusi. Strategi ini memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menjangkau khalayak luas dan membangun hubungan emosional dengan pemilih.

Implikasi Kampanye Politik di era media sosial

 Media sosial sangat bergantung pada visual. Konten visual yang kuat, seperti foto dan video blusukan, menjadi strategi utama untuk membangun citra dan menyampaikan pesan politik. Interaksi langsung dengan masyarakat yang divisualisasikan secara menarik dapat menciptakan dampak yang lebih kuat daripada sekadar pernyataan verbal.

Pemilih di era media sosial mencari autentisitas dan kedekatan dengan kandidat. Konten yang menampilkan interaksi yang tulus, penggunaan bahasa informal, dan penekanan pada empati dapat membantu membangun kesan autentik dan dekat dengan rakyat.

 Narasi yang personal dan emosional lebih efektif dalam menjangkau dan mempengaruhi pemilih di media sosial. Cerita tentang mendengarkan keluhan warga, berbagi harapan, dan memberikan solusi dapat menciptakan koneksi emosional yang kuat.

Media sosial memungkinkan interaksi dua arah antara kandidat dan pemilih. Membalas komentar, mengadakan diskusi online, dan merespons masukan publik dapat memperkuat keterlibatan dan membangun komunitas pendukung.

Kampanye politik di media sosial tidak boleh berdiri sendiri. Strategi konten harus terintegrasi dengan strategi kampanye offline, seperti blusukan, rapat umum, dan kegiatan lainnya. Konten media sosial dapat memperkuat dan memperluas jangkauan pesan kampanye offline.

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa konten Instagram blusukan gubernur merupakan bagian dari strategi kampanye yang canggih dan terencana dengan baik, memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangun citra, menyampaikan pesan, dan berinteraksi dengan pemilih. Pemahaman tentang bagaimana representasi visual dan verbal bekerja dalam membentuk wacana politik sangat penting bagi keberhasilan kampanye politik di era digital.

Secara ringkas, representasi gubernur dalam konten Instagram blusukannya bertujuan untuk membangun citra sebagai pemimpin yang "merakyat," peduli terhadap masalah masyarakat miskin, dan berkomitmen untuk memberikan solusi. Strategi ini memanfaatkan kekuatan media sosial untuk menjangkau khalayak luas dan membangun hubungan emosional dengan pemilih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun