Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inkarnasi

3 Oktober 2013   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:04 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Lima jam sudah Josef Kaluani duduk bernaung di tepi jalan yang panas desa Tomok. Kadang bersiul kadang ikut melagu sampai kepalanya bertambah panas. Debu yang terbang kadang menghalangi pandangannya. Ia memandangi seberang jalan, di mana tangan-tangan gemulai bersenandung. Kepala ditundukkan kemudian mendongak lagi. Kaki berjinjit dan mulut bersungut dan menyanyi. Tarian Sigale-gale didalangi oleh seorang tua yang duduk bersila di bawah rumah adat itu. Kulitnya gelap dan tak ada senyum di wajahnya, sesekali tersenyum pada tiga mamak yang ikut berjinjit di atas sisa rumput.

Aktor utama tarian itu bukanlah ketiga mamak, melainkan sebuah boneka kayu. Boneka yang wajahnya menyerupai tetua dari mereka. Lebih tinggi dari orang dewasa dan lebih kurus dari anak-anak. Ber-ulos hitam dengan sapuan kain lagi di kepalanya. Matanya putih-hitam dan tak pernah berkedip. Tangan-tangannya menghadap ke langit. Dua tangan itulah yang diikat dengan sepasang tali tipis pengontrol gerak, yang oleh dalang di bawah rumah dihentakkan dan kadang dilembutkan. Mengikuti alur gerakan poros tengahnya yang longgar. Boneka menari-nari menarik perhatian,  seperti berpesan pandu antara dua dunia.

Tarian berlangsung sepuluh menit, sampai akhirnya Josef yang berada di seberang jalan tak tahan lagi. Ia berlari dari tempatnya duduk, nyaris menabrak sepeda motor sampai akhirnya melompat memeluk patung. Disergapnya Sigale-gale itu dengan dua tangan sampai terjatuh. Keduanya bergulingan di atas rumput. Ketiga mamak di situ menutup mulut ketakutan, seorang di antaranya bahkan histeris dan lari memanggil orang-orang. Upacara buyar seketika saat dalang urun melerai pertarungan fisik yang belum pernah terjadi itu. Orang-orang berkerumun di padang bukit sisa rumput itu, sementara yang lain memotret dengan ponsel.

Josef meronta, kekuatannya seperti tertandingi. Boneka itu kadang di bawah dan kadang di atas, berguling-guling seperti murka. Oleh orang-orang Josef akhirnya terangkat dari tanah, dijauhkan dan berusaha ditenangkan, meninggalkan Sigale-gale yang tak bergerak. Tapi pun kakinya masih menendang-nendang dan mengumpat, "Keluar, Nak. Keluar!"

**

Konsentrasi pada pelajaran Fisika seketika buyar ketika tiba-tiba pintu kelas digedor keras. Pembantu sekolah tidak mau mencoba hal itu dua kali, maka ia langsung memberi tahu guru yang ada di situ, bahwa seseorang harus keluar dari ruangan. Guru itu menerima bisikan, melirik ke arah murid-muridnya, kemudian mengangguk.

"Uli, kemasi barang-barangmu, kau boleh pulang."

Siswi itu, mendongak dari buku dengan heran, kemudian melempar senyum meriah. Ia pikir ia diberi kebebasan khusus tatkala ia merasa teman-teman di sekitarnya itu cemberut. Maka dengan anggukan saja ia menurut dan beberapa saat kemudian sudah duduk di ruangan kepala sekolah.

"Bapakmu ditangkap polisi, kau boleh menjenguknya."

"Polisi?" sergap Taruli penasaran. "Ada apa lagi?"

Kepala sekolah itu memandangi dua stafnya sebelum menjawab, "Berontak lagi pas upacara, kali ini di Tomok. Sekarang kau boleh pulang, temui bapakmu, siapa tahu dia belum harus ditahan. Pak Pohan akan mengantarkanmu pakai mobilnya."

Taruli menggeleng, menatap tajam kepada para teladannya itu. Dan lalu tanpa suara ia sudah berlalu.

Dua puluh menit setelahnya, Taruli sudah duduk di ruang tunggu Polsek Simanindo. Memijat-mijat tangannya sendiri, meraba-raba perkiraannya sendiri. Ia seperti terjepit di antara tiga ibu paruh baya yang sama menduduki bangku kayu berongga itu. Sejurus kemudian orang-orang di situ melihat Josef digiring dua polisi mendekat ke ruang tunggu, sebelum berlalu ke ruang periksa. Oleh seorang petugas Taruli dipersilakan turut mendampingi. Anak itu langsung menggamat tangan bapaknya, terperiksa yang tak banyak bicara.

"Bapak, sudahlah, Pak. Hentikan saja pikiran-pikiran bapak itu."

"..."

"Pak," kemudian anak itu merendahkan suaranya, hampir berbisik. "Sudahlah, abang tidak akan pulang. Bapak ingat pesan boru."

"..."

"Uli tidak mau lihat bapak begini terus. Uli butuh sekolah, Pak. Kalau begini Uli seperti tidak ada pegangan, untuk cerita soal tugas-tugas. Siapa yang mau menjaga Uli kalau bapak begini? Siapa yang mau meneruskan pesan-pesan Mak, Apa bapak sudah lupa sama pesan Mak?"

Josef menoleh menatap anaknya yang duduk di sampingnya. Ia baru sadari tangannya terborgol, tapi ia tak bisa apa-apa. Pandangannya tidak tetap dan kosong saja, dua lututnya gemetaran. Kepalanya basah karena keringat dan tubuhnya kadang terguncang, seakan-akan ia masih sedang bergulat dengan Sigale-gale yang meronta. Ia menatap mata Taruli anaknya, sekali lagi. Lama sebelum akhirnya bersuara.

"Aku berbicara pada sesuatu, tentang kelahiran kembali kakakmu."

Taruli menimpali. "Hus! Tidak ada itu yang namanya lahir kembali, Pak!" Anak itu bangkit dari kursinya. Merasa muak, ia pergi. Tapi baru tiga langkah anak itu beranjak, ia berbalik badan lagi dan marah-marah.

"Kalau bapak mau teruskan seperti ini, silakan saja. Seperti orang gila. Uli tidak mau punya bapak orang gila!"

Orang-orang di ruangan itu --dan yang di ruangan dekatnya yang tak disekat pintu-- menoleh berpikir ada apa gerangan. Anak itu pergi, menggamat tangan Pak Pohan gurunya yang menunggui di mobil. Tak berbicara sampai berjam-jam. Sementara di kursi, Josef masih linglung.

**

Pohan Maktubi --empat puluh tujuh tahun, ayah dari tiga anak-- hijrah dari Palembang ke Pulau Samosir di era runtuhnya Orba sebagai transmigran yang ikut program pemerataan guru. Di tengah jatuh-bangun adaptasi hidup, ia meraih puncak karirnya saat diangkat menjadi seorang wakil  yang loyal di SD Mangun Sitohang, sekolah yang didampinginya sampai sekarang. Sebagai pengampu kesiswaan ia tak jarang menghadapi banyak dilema psikologis siswa-siswinya, pekerjaan tambahan yang terkadang mewajibkannya lembur di luar sekolah hanya untuk mendampingi siswa melalui masa-masa sulit.

Sore jelang magrib itu, Pohan mampir ke sebuah rumah di dekat Pasar Pangururan. Di ruang tamu ia dijamu teh panas oleh perempuan paruh baya Mini, berpostur tambun kontras dengan namanya. Guru itu menyampaikan maksud kedatangannya, yang seperti biasa langsung dimengerti oleh si nyonya rumah. Sesaat kemudian dari balik tirai kamar keluar Taruli. Anak yang dalam dua tahun terakhir tinggal sebagai anak asuh di situ.

Anak itu duduk dengan hormat, berusaha membuka obrolan. Akan tetapi belum juga ia sempat mengarahkan topik, Pak Guru yang langsung menyergapnya dengan pertanyaan.

"Maaf, Uli, bapak harus menanyakan ini," ujar Pohan berhati-hati. "Seperti apa sebenarnya hubungan Uli dengan Bapak?"

Taruli nampak terkejut disergap pertanyaan itu. Tapi ia masih bisa membalas, tetap dengan hormat. "Baik saja, Pak. Tidak ada masalah. Saya satu-satunya teman bicara Bapak sejak Ibu meninggal."

Pohan menyimak, sikapnya memancing agar anak ini bisa lebih terbuka.

"Awalnya bapak baik-baik saja, normal saja. Masuk ke kantor kelurahan jam sembilan pagi dan baru pulang jam tiga. Sehabis itu ke kebun dan kadang mengambil sisa karet yang bisa dijual. Kehidupan kami pelan-pelan normal di enam bulan sepeninggalan ibu. Saya dan bapak mulai akrab --yang waktu ibu masih hidup kami jarang bicara. Bapak juga mulai mengantar saya ke sekolah dan membelikan saya perlengkapan yang sekiranya perlu, bahkan sebelum diminta. Sifat pengertian dan peka ibu pelan-pelan mulai saya lihat dari wajah bapak. Yang dulunya suka minum-minum juga waktu itu mulai jarang dan bahkan seminggu sudah tidak minum barang sekali."

Taruli mengambil jeda napas sebelum melanjutkan. "Setahun yang lalu, September, bapak yang ceria di pasar ini, tiba-tiba histeris dan seperti orang kesakitan. Seperti akalnya hilang." Mata anak itu menatap tajam ke arah gurunya. Jauh di dapur belakang, tante Mini menghentikan gerak iris pisau pada wortelnya. Menyimak ataukah tidak sengaja mendengarkan. Sedikit banyak orang tua asuh ini tahu persoalan emosional yang dialami Taruli di tahun-tahun belakangan. Mungkin naluri keibuan, atau naluri sesama perempuan. Meski pada akhirnya tak banyak menyinggung di perbincangan langsung, si tante ini belajar memahami.

"Waktu Samor  meninggal." Pak Guru Pohan menebak.

"Benar, waktu kakak meninggal," ujar Taruli. "Bapak memang dekat sekali dengan kakak, bahkan Ibu pernah bilang, kalau bapak pernah bilang bahwa kalau ditakdirkan punya satu anak saja, dia tidak ingin kehilangan Kak Samor. Atau, bapak rela kehilangan apa saja yang penting bukan kakak. Kata ibu sewaktu lahir Kak Samor seperti anak mati, tidak bernapas dan tidak juga menangis. Itu yang bikin bapak histeris, tapi akhirnya oleh dukun boru, Kak Samor, yang masih bayi itu, disiram air panas. Barulah katanya lima belas menit atau berapa menit setelahnya begitu, bayi Kak Samor menangis. Bapak lega. Begitulah, anak pertamanya yang seperti jadi tumpuan harapan hidup. Begitu bapak mencintai Kak Samor sampai pernah menunggu makam kakak seminggu penuh, bikin heran orang-orang."

"Oh ya? Wah saya baru dengar kalau itu. Jadi, perubahan bapak mulai terjadi sewaktu kakak Uli meninggal. Sebagai seorang bapak saya bisa mengerti hal itu --ya meskipun kasus Bapak Uli ini sedikit berbeda. Orang dewasa sekalipun bisa menjadi kekanak-kanakan jika itu berhubungan dengan sesuatu yang sangat diinginkannya." Pohan seperti menerawang jauh, merenung sendiri sejenak, kemudian lanjut bertanya. "Em... histerisnya ini, Tiba-tiba begitu saja?"

"Iya. Malam sewaktu Kak Samor dikebumikan, Bapak tidak bicara, tidak makan dan tidak tidur sampai dua hari berikutnya. Hanya makan garam dan malah kata orang-orang bapak sering berbicara sendiri. Seperti sedang mengobrol dengan Kak Samor begitu. 'Roh Samor sini Nak', katanya begitu. Kata Pak Kirman, penyuluh desa yang sempat berbincang dengan bapak, bapak sering berbicara teori-teori apa begitu, Rekarnasi, refor... apa begitu. Tidak tahu juga persisnya."

"Reinkarnasi?"

"Iya. Itu. Reinkarnasi."

"..."

"Saya sebenarnya mau, Pak. Membantu Bapak biar balik normal lagi. Tidak tahan juga saya menghadapi bapak. Malu sama orang-orang!" Anak itu  mulai berkaca-kaca.

Menyadari perubahan gelagat perasaan lawan bicaranya, Pohan mulai menegakkan badan memberi semangat. Seusai meneguk teh yang mulai dingin, ia mengangkat telapak tangannya mengusulkan. Mungkin ditolak tapi tidak salah dicoba. Toh, batinnya hanya termotivasi oleh keinginan memberi pilihan kepada seorang siswinya, yang mungkin juga mulai masuk tahap pemikiran dewasa, bisa menentukan pilihannya sendiri. Maka ia sodorkan solusi untuk dipilih, bukan memerintah. Ia sampaikan dengan nada seramah mungkin.

"Nak Uli, begini. Mungkin ide bapak ini sedikit keterlaluan, atau, mungkin tidak logis. Saya bisa juga ditegur kepala sekolah. Tapi, saya minta pendapat Nak Uli. Demi kesembuhan bapak."

"Bagaimana itu Pak?"

"Tapi ide ini perlu keberanian Uli untuk dilaksanakan. Dan juga, mungkin atas seizin anggota keluarga lain dan tokoh masyarakat."

Seusai menyimak ide yang dilontarkan gurunya itu, Taruli menatap tante Mini yang sama terherannya. Mereka berdua belum pernah mendengar penyelesaian yang seperti ide Pak Pohan ini. Tapi mereka pikir-pikir, mungkin saja bisa berhasil. Lagipula, mereka sudah mulai tidak nyaman dengan semua isu eksternal.

Akhirnya, setelah berpelukan, Taruli dan tante Mini-nya diam, terisak-isak dalam kebimbangan.

**

Puluhan siswa-siswi berpakaian biasa berkumpul di dua ruangan kelas di malam hari itu. Didampingi lima guru bergantian dan diawasi penjaga sekolah, mereka tidak diperbolehkan keluar. Di lapangan, sudah mondar-mandir kepala sekolah dan wakilnya, tiga orang guru, berbincang dengan tokoh masyarakat tentang kemungkinan-kemungkinan upacara itu digelar. Dari arah gerbang lalu datang sekelompok penari terdiri dari tiga orang muda dengan satu mamak, beserta seorang dalang tua yang kulitnya nyaris tenggelam di dalam kegelapan. Hanya banyak bunyi gesekan alas kaki dengan rumput-rumput yang basah karena udara dingin. Wewangian dupa menyeruak-menghilang-menyeruak. Seakan-akan panggilan roh bisa terjadi kapan saja. Jauh di tengah lapangan itu, para pekerja merampungkan peletakannya. Boneka Sigale-gale dipasang sekali lagi.

Lima belas menit kemudian datang iring-iringan tokoh masyarakat lain yang mendampingi seorang laki-laki paruh baya bertatapan kosong, yang tak lain adalah Josef Kaluani. Senyumannya menyeringai beberapa kali, bibirnya berair. Kakinya lemas tapi masih ikut tuntunan empat orang yang mengawalnya.

"Anda akan dipertemukan dengan Samor, bersiaplah membuka tirai dunia dan duduk dalam simpuh ritual yang agung," kata dalang dalam bahasa dalam yang masih dimengerti orang-orang.

Josef didudukkan. "Samor, Samor anakku!" teriaknya. Ia meronta, namun dengan tangan terikat, ia tak bisa melawan siapa-siapa. Tatapannya melihat ke arah boneka kayu tinggi di depannya, yang seperti masih dendam padanya. Kepala sekolah mengawasi betul ritus itu dimulai, dibantu Pohan.

"Kita harus hati-hati dengan ide ini, Pak. Anda tahu itu, apa taruhannya, dan lain-lain," kata kepala sekolah kepada wakilnya. Dibalas anggukan.

Sigale-gale menari-nari sekali lagi. Dalang menutup mata saat bola matanya seperti tertarik ke atas. Menggerakkan tali dan membuat dendangan musik bertalu-talu, mengiringi tiga penari mulai menarik langkah, berjinjit dan membawa diri mereka melayangi momen trans yang tidak biasa. Udara dingin seperti memeluk mereka rapat-rapat.

Di dalam ruangan kelas, Taruli merapal doa. Dandanannya berat karena berlapis ulos dan tandakan di kepala. Ia dipoles oleh seorang guru perempuannya agar semirip mungkin dengan dandanan anak laki-laki, meski rambutnya tetap dibiarkan terurai. Saat panggilan dalang terdengar, ia melangkah keluar.

Lapangan itu menusuk-nusuk telapak kakinya saat berjalan. Akan tetapi saat terduduk, Taruli baru merasakan ketakutannya yang sangat. Ia bersimpuh berhadapan dengan bapaknya. Di seberang sana, Josef mulai merasakan hawa panas, pikirannya mengikuti tari-tarian, gerakannya mengikuti rapal-rapal doa. Ia membuta-buta dan membawa badannya menari-nari. Tapi kini boneka kayu telah ditarik tanpa ia sadari. Dan ketika ia membuka matanya lagi, ia terkejut karena melihat seorang anak dandanan laki-laki duduk di depannya.

Josef lalu menunduk, mendekat ke anak dandanan laki-laki itu, menepuk pundaknya, kemudian terkejut. Taruli, dengan instruksi dalang yang penuh isyarat dalam mantra, mulai menggetar-getarkan badannya, mengangkat tangannya, kemudian berteriak-teriak kata tanpa makna. Ia menggapai-gapai angin seperti ingin terlepas tapi terikat di persimpuhannya. Josef kaget dan ketakutan melihat itu. Kemudian ketika gemetaran di tubuh Taruli terhenti, Josef mulai berani mendekat dan duduk.

"Bapak, Samor memohon bicara," ujar dari mulut Taruli yang matanya membulat dan terjepit ke atas.

"Nak Samor!" sergah Josef. Memeluk tubuh itu, mendekapnya dalam-dalam, mengguncang-guncangnya, berterima kasih. "Nak Samor bagaimana kabar di sana. Bapak rindu pada Nak Samor. Bapak rindu kakak. Bagaimana di sana? Baik-baikkah?"

Orang-orang yang menyaksikan itu terpana. Beberapa ibu guru bahkan menutup mulutnya dengan telapak tangan, menggeleng-geleng dalam keheranan ritus lama yang diadakan kembali. Ini pemandangan langka, dan mereka semakin percaya.

"Bapak, Samor tahu bapak mencari-cari. Pos roham. Pos roham. Anak ada di dalam rumah. Bapak jaga rumah. Anak ada di dalam rumah. Bapak jangan cari di luar."

"Nak Samor...."

"Holong bapak, holon borua. Saya akan pulang, saya sudah di rumah."

"Nak Samor, maukah lahir kembali jadi seorang manusia? Atau membawa bapak pada waktu lampau saat rohmu ditiupkan? Bapak mau menahannya sampai lama."

Anak itu menggeleng pelan. "Bapak seorang hamba. Bapak jangan ke mana. Adik Taruli tahu... bapak sayang. Sekarang pulanglah ke rumah. Salam ibu tersampaikan."

Josef menangis sejadi-jadinya. Ia memanggil-manggil nama anaknya, nama istrinya, bahkan sampai nama orang tuanya. Ia mencakar-cakar rumput, memukul-mukul tanah. Ia merasakan kesalahannya membuatnya tuli. Kepalanya panas, pikirannya merasa tak lagi pantas. Ia meminta maaf, disimak oleh semuanya. Anak itu, si Taruli, ikut menangis. Sambil terus berperan jadi anak laki-laki dengan pesan.

Josef bangkit dan memeluk anak itu. Mendekapnya kencang-kencang yang dibalas rangkulan di pinggangnya. Ia meminta maaf lagi.

"Bapak mau pulang juga, Bapak mau pulang juga!" Tapi tiba-tiba Josef melepas pelukan dan kemudian lari berputar-putar, seperti sedang menari-nari dalam trans yang memuncak. Kesedihan, kegamangan, ketakutan, kesenangan, bercampur-campur di dalam hati dan kepalanya. Darahnya berdesir hebat sampai ia berkeringat. Kemudian dengan sebuah teriakan komando, Wakil Kepala Sekolah Pohan berlari mendekati laki-laki kemudian melompatinya. Disusul tiga polisi yang sedari tadi bersiaga. Tapi apa daya, semuanya terlambat. Di pergelangan tangan Josef sudah mengucur darah segar membasahi rumput. Membuat jejak yang memercik di sana-sini. "Nak Samor, Nak Samor, Bapak Inkarnasi ke tempat Nak Samor. Ini inkarnasi! Paling tinggi dari yang tinggi, ini bapak Nak!"

Josef masih sempat berteriak-teriak saat membiarkan urat pergelangannya nyaris terputus. Orang-orang lalu membopongnya ke mobil. Mendekat dalam histeria, Taruli memanggil-manggil nama bapaknya.

*

------------------------------- Ilustrasi: Boneka kayu Sigale-gale jadi tujuan wisata penting di desa Tomok, Samosir, Sumatra Utara. Cerita sejarahnya khususnya yang berbau mistis diulas di banyak blog yang menarik pengunjung. Sumber gambar: satyawinnie.blogspot.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun