Lapangan itu menusuk-nusuk telapak kakinya saat berjalan. Akan tetapi saat terduduk, Taruli baru merasakan ketakutannya yang sangat. Ia bersimpuh berhadapan dengan bapaknya. Di seberang sana, Josef mulai merasakan hawa panas, pikirannya mengikuti tari-tarian, gerakannya mengikuti rapal-rapal doa. Ia membuta-buta dan membawa badannya menari-nari. Tapi kini boneka kayu telah ditarik tanpa ia sadari. Dan ketika ia membuka matanya lagi, ia terkejut karena melihat seorang anak dandanan laki-laki duduk di depannya.
Josef lalu menunduk, mendekat ke anak dandanan laki-laki itu, menepuk pundaknya, kemudian terkejut. Taruli, dengan instruksi dalang yang penuh isyarat dalam mantra, mulai menggetar-getarkan badannya, mengangkat tangannya, kemudian berteriak-teriak kata tanpa makna. Ia menggapai-gapai angin seperti ingin terlepas tapi terikat di persimpuhannya. Josef kaget dan ketakutan melihat itu. Kemudian ketika gemetaran di tubuh Taruli terhenti, Josef mulai berani mendekat dan duduk.
"Bapak, Samor memohon bicara," ujar dari mulut Taruli yang matanya membulat dan terjepit ke atas.
"Nak Samor!" sergah Josef. Memeluk tubuh itu, mendekapnya dalam-dalam, mengguncang-guncangnya, berterima kasih. "Nak Samor bagaimana kabar di sana. Bapak rindu pada Nak Samor. Bapak rindu kakak. Bagaimana di sana? Baik-baikkah?"
Orang-orang yang menyaksikan itu terpana. Beberapa ibu guru bahkan menutup mulutnya dengan telapak tangan, menggeleng-geleng dalam keheranan ritus lama yang diadakan kembali. Ini pemandangan langka, dan mereka semakin percaya.
"Bapak, Samor tahu bapak mencari-cari. Pos roham. Pos roham. Anak ada di dalam rumah. Bapak jaga rumah. Anak ada di dalam rumah. Bapak jangan cari di luar."
"Nak Samor...."
"Holong bapak, holon borua. Saya akan pulang, saya sudah di rumah."
"Nak Samor, maukah lahir kembali jadi seorang manusia? Atau membawa bapak pada waktu lampau saat rohmu ditiupkan? Bapak mau menahannya sampai lama."
Anak itu menggeleng pelan. "Bapak seorang hamba. Bapak jangan ke mana. Adik Taruli tahu... bapak sayang. Sekarang pulanglah ke rumah. Salam ibu tersampaikan."
Josef menangis sejadi-jadinya. Ia memanggil-manggil nama anaknya, nama istrinya, bahkan sampai nama orang tuanya. Ia mencakar-cakar rumput, memukul-mukul tanah. Ia merasakan kesalahannya membuatnya tuli. Kepalanya panas, pikirannya merasa tak lagi pantas. Ia meminta maaf, disimak oleh semuanya. Anak itu, si Taruli, ikut menangis. Sambil terus berperan jadi anak laki-laki dengan pesan.