Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inkarnasi

3 Oktober 2013   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:04 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi ide ini perlu keberanian Uli untuk dilaksanakan. Dan juga, mungkin atas seizin anggota keluarga lain dan tokoh masyarakat."

Seusai menyimak ide yang dilontarkan gurunya itu, Taruli menatap tante Mini yang sama terherannya. Mereka berdua belum pernah mendengar penyelesaian yang seperti ide Pak Pohan ini. Tapi mereka pikir-pikir, mungkin saja bisa berhasil. Lagipula, mereka sudah mulai tidak nyaman dengan semua isu eksternal.

Akhirnya, setelah berpelukan, Taruli dan tante Mini-nya diam, terisak-isak dalam kebimbangan.

**

Puluhan siswa-siswi berpakaian biasa berkumpul di dua ruangan kelas di malam hari itu. Didampingi lima guru bergantian dan diawasi penjaga sekolah, mereka tidak diperbolehkan keluar. Di lapangan, sudah mondar-mandir kepala sekolah dan wakilnya, tiga orang guru, berbincang dengan tokoh masyarakat tentang kemungkinan-kemungkinan upacara itu digelar. Dari arah gerbang lalu datang sekelompok penari terdiri dari tiga orang muda dengan satu mamak, beserta seorang dalang tua yang kulitnya nyaris tenggelam di dalam kegelapan. Hanya banyak bunyi gesekan alas kaki dengan rumput-rumput yang basah karena udara dingin. Wewangian dupa menyeruak-menghilang-menyeruak. Seakan-akan panggilan roh bisa terjadi kapan saja. Jauh di tengah lapangan itu, para pekerja merampungkan peletakannya. Boneka Sigale-gale dipasang sekali lagi.

Lima belas menit kemudian datang iring-iringan tokoh masyarakat lain yang mendampingi seorang laki-laki paruh baya bertatapan kosong, yang tak lain adalah Josef Kaluani. Senyumannya menyeringai beberapa kali, bibirnya berair. Kakinya lemas tapi masih ikut tuntunan empat orang yang mengawalnya.

"Anda akan dipertemukan dengan Samor, bersiaplah membuka tirai dunia dan duduk dalam simpuh ritual yang agung," kata dalang dalam bahasa dalam yang masih dimengerti orang-orang.

Josef didudukkan. "Samor, Samor anakku!" teriaknya. Ia meronta, namun dengan tangan terikat, ia tak bisa melawan siapa-siapa. Tatapannya melihat ke arah boneka kayu tinggi di depannya, yang seperti masih dendam padanya. Kepala sekolah mengawasi betul ritus itu dimulai, dibantu Pohan.

"Kita harus hati-hati dengan ide ini, Pak. Anda tahu itu, apa taruhannya, dan lain-lain," kata kepala sekolah kepada wakilnya. Dibalas anggukan.

Sigale-gale menari-nari sekali lagi. Dalang menutup mata saat bola matanya seperti tertarik ke atas. Menggerakkan tali dan membuat dendangan musik bertalu-talu, mengiringi tiga penari mulai menarik langkah, berjinjit dan membawa diri mereka melayangi momen trans yang tidak biasa. Udara dingin seperti memeluk mereka rapat-rapat.

Di dalam ruangan kelas, Taruli merapal doa. Dandanannya berat karena berlapis ulos dan tandakan di kepala. Ia dipoles oleh seorang guru perempuannya agar semirip mungkin dengan dandanan anak laki-laki, meski rambutnya tetap dibiarkan terurai. Saat panggilan dalang terdengar, ia melangkah keluar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun