"Waktu Samor  meninggal." Pak Guru Pohan menebak.
"Benar, waktu kakak meninggal," ujar Taruli. "Bapak memang dekat sekali dengan kakak, bahkan Ibu pernah bilang, kalau bapak pernah bilang bahwa kalau ditakdirkan punya satu anak saja, dia tidak ingin kehilangan Kak Samor. Atau, bapak rela kehilangan apa saja yang penting bukan kakak. Kata ibu sewaktu lahir Kak Samor seperti anak mati, tidak bernapas dan tidak juga menangis. Itu yang bikin bapak histeris, tapi akhirnya oleh dukun boru, Kak Samor, yang masih bayi itu, disiram air panas. Barulah katanya lima belas menit atau berapa menit setelahnya begitu, bayi Kak Samor menangis. Bapak lega. Begitulah, anak pertamanya yang seperti jadi tumpuan harapan hidup. Begitu bapak mencintai Kak Samor sampai pernah menunggu makam kakak seminggu penuh, bikin heran orang-orang."
"Oh ya? Wah saya baru dengar kalau itu. Jadi, perubahan bapak mulai terjadi sewaktu kakak Uli meninggal. Sebagai seorang bapak saya bisa mengerti hal itu --ya meskipun kasus Bapak Uli ini sedikit berbeda. Orang dewasa sekalipun bisa menjadi kekanak-kanakan jika itu berhubungan dengan sesuatu yang sangat diinginkannya." Pohan seperti menerawang jauh, merenung sendiri sejenak, kemudian lanjut bertanya. "Em... histerisnya ini, Tiba-tiba begitu saja?"
"Iya. Malam sewaktu Kak Samor dikebumikan, Bapak tidak bicara, tidak makan dan tidak tidur sampai dua hari berikutnya. Hanya makan garam dan malah kata orang-orang bapak sering berbicara sendiri. Seperti sedang mengobrol dengan Kak Samor begitu. 'Roh Samor sini Nak', katanya begitu. Kata Pak Kirman, penyuluh desa yang sempat berbincang dengan bapak, bapak sering berbicara teori-teori apa begitu, Rekarnasi, refor... apa begitu. Tidak tahu juga persisnya."
"Reinkarnasi?"
"Iya. Itu. Reinkarnasi."
"..."
"Saya sebenarnya mau, Pak. Membantu Bapak biar balik normal lagi. Tidak tahan juga saya menghadapi bapak. Malu sama orang-orang!" Anak itu mulai berkaca-kaca.
Menyadari perubahan gelagat perasaan lawan bicaranya, Pohan mulai menegakkan badan memberi semangat. Seusai meneguk teh yang mulai dingin, ia mengangkat telapak tangannya mengusulkan. Mungkin ditolak tapi tidak salah dicoba. Toh, batinnya hanya termotivasi oleh keinginan memberi pilihan kepada seorang siswinya, yang mungkin juga mulai masuk tahap pemikiran dewasa, bisa menentukan pilihannya sendiri. Maka ia sodorkan solusi untuk dipilih, bukan memerintah. Ia sampaikan dengan nada seramah mungkin.
"Nak Uli, begini. Mungkin ide bapak ini sedikit keterlaluan, atau, mungkin tidak logis. Saya bisa juga ditegur kepala sekolah. Tapi, saya minta pendapat Nak Uli. Demi kesembuhan bapak."
"Bagaimana itu Pak?"