"Kalau bapak mau teruskan seperti ini, silakan saja. Seperti orang gila. Uli tidak mau punya bapak orang gila!"
Orang-orang di ruangan itu --dan yang di ruangan dekatnya yang tak disekat pintu-- menoleh berpikir ada apa gerangan. Anak itu pergi, menggamat tangan Pak Pohan gurunya yang menunggui di mobil. Tak berbicara sampai berjam-jam. Sementara di kursi, Josef masih linglung.
**
Pohan Maktubi --empat puluh tujuh tahun, ayah dari tiga anak-- hijrah dari Palembang ke Pulau Samosir di era runtuhnya Orba sebagai transmigran yang ikut program pemerataan guru. Di tengah jatuh-bangun adaptasi hidup, ia meraih puncak karirnya saat diangkat menjadi seorang wakil  yang loyal di SD Mangun Sitohang, sekolah yang didampinginya sampai sekarang. Sebagai pengampu kesiswaan ia tak jarang menghadapi banyak dilema psikologis siswa-siswinya, pekerjaan tambahan yang terkadang mewajibkannya lembur di luar sekolah hanya untuk mendampingi siswa melalui masa-masa sulit.
Sore jelang magrib itu, Pohan mampir ke sebuah rumah di dekat Pasar Pangururan. Di ruang tamu ia dijamu teh panas oleh perempuan paruh baya Mini, berpostur tambun kontras dengan namanya. Guru itu menyampaikan maksud kedatangannya, yang seperti biasa langsung dimengerti oleh si nyonya rumah. Sesaat kemudian dari balik tirai kamar keluar Taruli. Anak yang dalam dua tahun terakhir tinggal sebagai anak asuh di situ.
Anak itu duduk dengan hormat, berusaha membuka obrolan. Akan tetapi belum juga ia sempat mengarahkan topik, Pak Guru yang langsung menyergapnya dengan pertanyaan.
"Maaf, Uli, bapak harus menanyakan ini," ujar Pohan berhati-hati. "Seperti apa sebenarnya hubungan Uli dengan Bapak?"
Taruli nampak terkejut disergap pertanyaan itu. Tapi ia masih bisa membalas, tetap dengan hormat. "Baik saja, Pak. Tidak ada masalah. Saya satu-satunya teman bicara Bapak sejak Ibu meninggal."
Pohan menyimak, sikapnya memancing agar anak ini bisa lebih terbuka.
"Awalnya bapak baik-baik saja, normal saja. Masuk ke kantor kelurahan jam sembilan pagi dan baru pulang jam tiga. Sehabis itu ke kebun dan kadang mengambil sisa karet yang bisa dijual. Kehidupan kami pelan-pelan normal di enam bulan sepeninggalan ibu. Saya dan bapak mulai akrab --yang waktu ibu masih hidup kami jarang bicara. Bapak juga mulai mengantar saya ke sekolah dan membelikan saya perlengkapan yang sekiranya perlu, bahkan sebelum diminta. Sifat pengertian dan peka ibu pelan-pelan mulai saya lihat dari wajah bapak. Yang dulunya suka minum-minum juga waktu itu mulai jarang dan bahkan seminggu sudah tidak minum barang sekali."
Taruli mengambil jeda napas sebelum melanjutkan. "Setahun yang lalu, September, bapak yang ceria di pasar ini, tiba-tiba histeris dan seperti orang kesakitan. Seperti akalnya hilang." Mata anak itu menatap tajam ke arah gurunya. Jauh di dapur belakang, tante Mini menghentikan gerak iris pisau pada wortelnya. Menyimak ataukah tidak sengaja mendengarkan. Sedikit banyak orang tua asuh ini tahu persoalan emosional yang dialami Taruli di tahun-tahun belakangan. Mungkin naluri keibuan, atau naluri sesama perempuan. Meski pada akhirnya tak banyak menyinggung di perbincangan langsung, si tante ini belajar memahami.