Mohon tunggu...
Afrilia Utami
Afrilia Utami Mohon Tunggu... -

talk less, doing better.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

LOT 7077

6 April 2012   13:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:57 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LOT 7077

Oleh : Afrilia Utami

Api-api kecil

Seperti mata yang tak rela

Dicumbui kering

Dan kerikil dari suara suri.

Siapa yang mengekarkan panas?

Tumbuh dengan cepat

Merambat kaki-kakiku

Rasa yang tak biasa

Rasa yang tak biasa

Rasa kehidupan.

-----

Hari ini aku menikahimu

Jalur merah campur darah

Sebelum menuju ranjang.

Hari ini kita sama pergi

Memulai kehidupan lagi

Di alam berbeda,

Di hari ini

Akhirnya kita menikahi kematian, Sayang..

------

Lorong masih panjang, lantai berwarna merah. Dan dinding-dinding kasar yang tak terlihat rela saat sandar memetakkan pelampiasan. Dara, namaku. Wanita yang telah lama terbaring, di salah satu ruang sepanjang lorong ini. Dara, namaku. Perempuan yang suka menuliskan sisa kehidupan, di atas ranjang kecil. Tempat perempuan ini membaringkan tubuhnya, mata, kaki, dan tangannya. Tapi api sering bergoyang dikepalaku. Dan kedua kakiku yang telah lumpuh, serupa direndam lumpur lapindo yang telah jadi batu.

Aku berjalan lama, menuju tujuanku di sana. Berjalan dengan roda yang berputar pelan. Tapi aku duduk bukan berjalan, tapi ada gaya dorongan dan aku seperti berjalan menuju tempat itu. Nara, dia sahabatku. Sahabatku yang suka menemaniku, juga suka memarahiku. Tapi aku diam, dan ia sahabat jiwaku yang penuh dengan kasih. Untuk ukuran manusia. Sepanjang Aku dan Nara bersama, seolah tidak ada yang lain kukenal dalam kehidupan ini. meski lorong ini berisi wajah-wajah asing yang kerap menyapaku. Namun aku tak mengenal satu pun di antara senyuman palsu itu. Tapi Nara selalu sempatkan waktu untuk mengunjungiku di sini, berjalan-jalan lewati lorong sempit, dan panjang.

Nara, panggilku pelan. Setelah 3 meter panjang lantai terlewat. Ya, jawabnya sambil mengangguk mendekati mataku. Kataku pelan, kukatakan padanya bahwa aku ingin pulang menikmati kehidupan seperti biasa. Tapi ia tidak menjawab, dan melanjutkan laju yang tertahan. Aku kembali menunduk. Ia tahu aku murung karena ia tidak menjawabku. Tapi aku biarkan ia membawaku entah ke mana lagi. Menyusuri tiap lorong Rumah Sakit ini, aku nyaris hapal lorong-lorong Rumah Sakit ini.

“Dara..” panggil seseorang di sampingku.

“Ya?” jawabku seadanya.

“Kamu anakku, dan selamanya begitu.” Itu kata Ibuku, yang datang tiba-tiba di sampingku.

Tapi aku diam.

Ibu menangis, seperti mengeluarkan air bah yang tertahan lama. Begitu deras.

“Sayang, Mama di sini! Mama menyayangi kamu!” Ibu mulai erat memegang lenganku, itu sakit sekali. Tubuhku lebih rapuh dan mudah merasa sakit. Tapi ibuku tak mengerti, dan terus lebih kuat mengerat lenganku.

“Tante jangan khawatir.” Kata Nara meredam emosi ibuku. “Ada saya, yang terus menemani Dara di sini. Saya yakin Dara akan baik-baik saja..”

“Tidak!” sontakku, “Aku tidak akan baik-baik saja berada di sini!”

“Terus apa yang harus Mama lakukan, Sayang?” tanya Ibuku dengan wajah yang makin luput.

“Mama tahu, sudah lama anakmu ini sakit terus. Dan terkurung di sini. Ini hanya menunda kematian! Aku ingin hidup, Ma! Merasakan menjadi manusia di luar sana! Bukan di dalam sini.” Aku pun akhirnya sama menangis dengannya.

“Dara, setelah kamu sembuh. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” Lagi kata Nara.

“Iya, Sayang. Kamu pasti sembuh…” kini kata ibuku lagi.

Aku hanya ingin pulang.

Ibu tidak pernah yakin, beberapa inci dari sini adalah sama membesarkan lubang hitam yang terus menyeret jiwaku dengan semaunya. Nara, laki-laki yang kukenal selama 12 tahun. Nara mencintaiku, juga aku. Tapi cinta seolah lebih menyakitkan. Cinta bisa jatuh di mana saja, tetapi jatuhnya cinta tidak pernah salah. Dan aku tidak ingin ia ikut sakit karena cinta, yang telah menyatukan jiwa kami. Aku sakit dan ia sehat. Aku di sini, namun ia bisa bebas memilih di mana ia akan berada dan melanjutkan hidupnya. Tapi ia enggan pergi, meninggalkanku yang sering sakit-sakitan, menunggu kematian menyembuhkan.

“Nara.” Panggilku pelan, saat beranda sore tak pernah jelas kami nikmati di antara kaca-kaca ruangan ini.

“Ya, Sayang?”

“Apa yang kamu harapkan dariku?” kataku dengan ragu.

“Aku mengharapkan kamu sembuh, dan setelah ini kita akan berdampingan dipelaminan, juga melengkapi sisa kehidupanku, kehidupan kita.” Katanya mesra.

“Bagaimana jika aku tak sembuh? Dan tak dapat mendampingimu dipelaminan itu?”

“Kamu harus sembuh, dan menjadi ibu dari anak-anakku. Itulah alasan aku berada di sini denganmu, menemanimu walau tak penuh waktu. Itu karena aku mencintaimu, Sayang. Penyempurnaan cinta adalah ikatan suci.” Ujar Nara lebih dekat memandangku.

“Nara, aku juga mengerti. Kita dipertemukan karena Tuhan. Dan, kita sama saling mencintai. Tapi aku sakit-sakitan Nara. Kamu akan selalu sedih, dan juga aku. Cinta bukan untuk itu.” Jawabku mengelak.

Lama aku dan Nara berbicara mengenai kehidupan selanjutnya. Tapi yang kudapat tinggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sempurna padam begitu saja dari hatiku. Seperti Sore ini, Jakarta Selatan dirundung hujan. Langit makin mendung. Aku tak dapat melihat pelangi, seperti mana kanakku dulu. Mengunjungi Situ Gede, duduk di atas rakit, sambil memandangi pelangi yang tak bulat sempurna itu. Atau ketika musim layang-layang, di sawah yang hijau semua. Aku senang berlari, meski akhirnya aku harus menghadapi lumpur yang merayapi kakiku, juga ketika pulang Ibu selalu memarahiku, karena bajuku kotor jadinya.

Aku mencintai sisa waktuku, karena aku percaya Tuhan dekat denganku. Ia selalu mengajakku untuk tetap bertahan. Aku pun kerap tersenyum lugu, meski aku tidak tahu Tuhan ada di mana. Ia menitipkan malaikat yang ada dalam jiwa Nara. Kukira itu alasan, mengapa aku bertahan.

Kemudian, detik dari detik. Kuperhatikan jam yang setia berputar, dan begitu seterusnya. Jam itu tampak biasa saja memutari hal yang sama dilewati sebelumnya. Kapan aku dapat memiliki jam yang bebas kuputar maju atau mundur sesukaku. Seperti menjadi Tuhan. Yang Dzahir dan Yang Bathin. Benarkah aku telah gila?

Lama aku diam, Nara yang di sampingku kerap mengajakku tersenyum. Melepaskan berbagai macam pikiranku yang rumit. Dari ruang-ruang yang kedap, atau dingin AC yang bertahan. Aku di dalam, dengan Nara. Dari luar pintu, aku dapat mendengar suara-suara asing, tapi hanya kilasan.

Gaung yang berlarian ditelinga

Tak pernah lepas begitu saja dengan biasa

Wanita dengan mata kecil sedang bertahan

Penuh aba-aba dengan sisa kehidupan.

Aku suka dengan bait di atas, aku bersyukur tanganku telah bersedia menuliskannya begitu saja. Hati dan pikiranku sulit remuk, makanya aku suka menulis, suka bait di atas. Berkata-kata dengan mudah, namun tak pernah hilang dan tertahan. Di tanganku semua bisa jadi, apa yang kuinginkan. Akan tetapi tidak dengan penolakan kehidupan ini. Semua berkata begitu rupa, tapi kerap tiada sama.

Di lantai lima, wanita sendirian bersama kekasihnya

Kekasihnya juga sendirian menuliskan surat-surat senyap

Tapi tak hilang lebih cepat, dari sandar antara dekap langit

Dan bulan yang suka menggigit lebih legit, kita sepasang

Yang memiliki sepi yang sama.

Aku menuliskan itu untuk Nara, ia tersenyum memanggil namaku, Dara A. Anarosse. Katanya, aku serupa mawar putih dalam namaku. Ia berharap mawar itu jadi edelweiss yang mekar dalam keabadian. Tak pernah cukup dengan kemusim, karena ia abadi sekali pun ia harus turun dari syurga menuju bumi. Aku tersenyum lagi pada Nara. Mengapa ia senang sekali, tersenyum sambil mengajakku tersenyum. Aku orang yang sakit-sakitan seolah benar tak berhak tersenyum kembali. Seperti dulu-dulu. Duduk di atas rakit, menikmati sore. Katanya senja selalu tak pernah dapat terpetakan. Karena ia selalu berbeda menampilkan ragam keindahannya.

Dua pertanyaan cukup memeriah pesta sore ini

Sofa yang nyaman, dan mata-mata yang berkelindaan

Dalam hati yang merautkan ujung-ujung dari bahagia

Ia yang bernama cinta.

***

Setelah malam apa yang kerap disembunyikan oleh bulan yang sebatangkara. Atau beberapa sipit bintang yang kerap berurutan seakan berpindah-pindah dengan mesranya. Tapi tidak dengan perubahan malam dan bau hujan, seakan nafas tersengal lebih peram. Dan, mengukir kembali mimpi-mimpi dalam pejam.

Bulan itu lama diam, kataku perlahan. Jadi bagaimana yang ringan? Bulan dari pohon kapuk yang lepas dan terbang semaunnya terbawa angin? Ataukah tubuh-tubuh yang telah lama bisu terbaring dan kini meraung-raung inginkan menggoyangkan angin.

Kulihat, Nara suka sekali duduk di sofa itu. Memperhatikanku tertidur, kemudian pergi. Mencatat hal-hal yang tidak pernah kutahu. Irama-irama hati kadang suka sembunyi berkali-kali.

Kepada mereka yang terampil menuliskan sesuatu. Kukatakan, aku ingin membacanya, juga kembali pada do’a yang suka mengapung lebih tinggi. Nara, aku seperti berada di antara kisah-kisah itu. Ayat-ayat yang berjatuhan, menemui nabi-nabi baru sebelum Muhammad. Atau barangkali aku juga pernah menjadi kekasih Chairil? Atau Gie? Dengan catatan Demonstran inginkan reformasi? Kini, aku sakit. Sebentar lagi aku akan pulang lebih cepat, Nara. Kulihat Nara hanya menunduk, beranggap tak pernah menggubris apa yang kukatakan secara perlahan padanya. Ia sudah terlalu sedih karenaku, apa juga dengan kata-kata yang meluncur begitu frustasi. Aku hidup setelah ini, bahkan menjadi mahkluk lain di alam sana.

Titik bercahaya itu seakan bintang kerdil

Seperti aku yang belum tentu dapat jadi pelita

Dan di Dzat-Mu, aku tak bisa ke mana

Tak hilang dari sini. Izrail belum mau menemuiku..

Stadium 3, begitu cepat. Dari diagnosa, aku masih memiliki peluang untuk sembuh.

Mengapa  leukosit dalam tubuhku melahap banyak eritrosit, mengapa tak akur dalam tubuh yang sama. Tapi aku tak dapat melarang mereka bebas berkembang ditubuhku. Semua berjalan, sesuai kehendak tubuhku. Tubuh Tuhan yang lain.

“Dara…” Panggil Nara.

“Kamu pasti sembuh, jangan memikirkan banyak hal dulu..” bujuknya.

“Iya, Nara. Besok aku akan keluar dari sini. Menjadi orang sehat seutuhnya.” aku tersenyum padanya.

***

Ini malam ke 34. Aku sudah dapat tersenyum, karena mulai terbiasa. Duduk dengan mudah, atau semua sakit di otakku ini kadang padam begitu saja. aku merasa jauh lebih baik. Setelah empat hari terbangun karena tiga minggu terbaring koma, kata Nara. Tapi aku tak ke mana-mana hingga sampai kembali di sini. Yang telah kulalui seperti beberapa jam lalu, melihat tubuh sendiri terbaring dan begitu, tanpa daya.

Aku suka hidup kembali, dan menjadi manusia baru. Barangkali begitu. Tapi aku tetap di sini lagi, belum selesai sakitku. Dan mataku yang kian rabun, seperti ketikan bunyi dari jantungku, makin melambat. Nara tetap bersama denganku. Ia belum bosan. Kini, ia menangis mengetahui aku yang tak jadi putri tidur selamanya. Mungkin karena ia batal menjadi pangeran yang akan menciumku untuk pertama kali. Ia menangis, mata laki-laki berbeda dengan mata wanita ketika menangis.

malaikat-malaikat penuh sayap

kerap tersenyum merayakan

hari-hari kehidupan.

***

Beberapa Nurse mendekat, membawa tiga dokter. Jika dijumlah, kukira sekitar 6 orang jika tidak salah kumenghitung jumlahnya. Mereka mulai memperlakukanku seperti sedang mengotopsi jenazah korban pembunuhan atau tersangka. Menggeledah tubuhku, dan mengambil jarum-jarum runcing, menembus jaringan epidermis kulit, melepas beberapa selang di tubuhku -yang baru. Tapi rambutku kian rontok. Tangan kiriku sering bergetar. Dan mereka terus tersenyum padaku. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” begitu kata dokter yang paling dekat dengan kepalaku, ia berkaca mata, putih, dan bertubuh tinggi, percis orang Belanda. Selama pemeriksaan, aku melihat Nara menyenderkan kepalanya di tangannya yang bertahan menyangga beban. Aku melihat ia menangis dari jauh sini. Aku seperti melihat aba-aba perpisahan. Namun, itu salah. Kami tetap bersama.

Setelah pemeriksaan selesai,

“Dara..” Panggil Nara, mulai bangkit dari sofa berwarna coklat muda lalu menghampiriku.

Aku berusaha keras melekukkan bibir untuk tersenyum.

“Kamu sudah berjuang. Bertahan. Maafkan aku, yang tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin menggantikan posisimu, jika saja aku dapat melakukan hal itu.”

“Tidak Nara, karena mulah aku bertahan, karena Tuhan selalu mendengar doamu, juga doaku." sejenak diam, melihat jam di dinding yang belum berganti dari bundar. "Sebentar lagi Duhur, aku ingin kamu menjadi imam ya? sudah lama kita tidak berjamaah bersama-sama. Kemudian bacakanlah hafizdhmu lagi, aku merindukan ayat-ayat suci itu.” Kataku perlahan pada Nara.

Nara tersenyum, begitu yang selalu ia turunkan dari dalam hatinya, ke dalam mata hatiku. Aku menyenangi keberadaannya, meski hanya separuh. Separuh itu adalah kesedihan kami bersama. Namun, aku dan Nara selalu berusaha bahagia, dengan itu kesedihan bukan alasan yang lebih baik untuk kami merasakan indahnya sisa kehidupan ini. Aku mengerti Tuhan yang dengan segala Kemahaan-Nya, Ia baik padaku. Ia memberiku waktu lagi, untuk melunasi hutang-hutangku kepada-Nya.

Cinta tak pernah hilang, bagi pemiliknya yang telah memelihara cinta dengan kecintaan yang luar biasa. Pengorbanan, air mata, dua hal yang menjadi bahan bakar cinta, agar tak padam. Tuhan telah berbaik hati, menyediakan cinta di langit untuk kita petik, kemudian kita bagikan di bumi. Menara-menara cinta yang bercahaya, seperti kaki-kaki kecil syurga yang berada di alam fana ini.

“Sayang, apa yang isi doamu tadi?” Ujar Nara, setelah membaca 2 juz hapalan hafizhnya.

“Doaku tidak terlalu panjang dan terkesan biasa seperti doa-doa lainnya, Nara.” Jawabku sambil melirihkan mata ke lampu yang menempel di dinding.

“Iya, aku ingin tahu jika kamu memperbolehkanku mendapatkan jawabanmu.”

“Cukup Tuhan, mengetahui do'a dari hambanya yang baru ini Nara..”

Nara merunduk, “Dalam doaku, aku ingin kamu bersamaku, dalam kehidupan ini dan setelahnya. Karena kamulah kebutuhanku, bukan hanya sebuah ingin. Aku ingin melihatmu bahagia selamanya, Sayang. Bahkan ketika aku tak mampu lagi membuatmu bahagia, namun aku selalu berusaha. Aku tahu mengapa aku butuh bahagia, karena setelah menemukanmu, bahagia itu ternyata keindahan yang tak terpelak. Setidaknya begitu menurutku.” Nara diam sejenak, “Kamu tahu, Sayang? Aku di sini, dan begitu seterusnya berada dekat denganmu. Meskipun kelak aku tak dapat menyentuh tanganmu lagi seperti ini, pastikanlah hati kita saling menggenggam satu.”

Seakan hari itu, adalah hari perpisahan bagi aku dan Nara. Mendung dari balik jendela, belum memadamkan lampu-lampu dan suara ketikan jantungku di dalamnya. Seolah ada banyak awan memasuki ruangan, awan-awan yang tidak menurut turunkan hujan, mereka turunkan pelangi di mata-mata yang menginginkan. Atau dibalik cahaya megah dan menjulang tinggi itu, kulihat malaikat berdiri di sampingku. Tapi aku belum tahu Malaikat itu serupa apa, mata dan imaji belum dapat menyentuh sisi-sisi yang berbentuk Malaikat. Ini bukan hari kematianku. Aku masih melanjutkan ceritaku yang masih belum selesai.

Dari balik pintu, ada yang mengetuk-ngetuk. Dari rabun, makin mendekat. Wanita yang sudah tak muda, membawakan seikat mawar putih kemudian ia memberikan ikatan itu pada Nara, dan berlari, akhirnya jatuh menimpaku.

“Sayang… Mama di sini. Mama sangat sayang sekali padamu, Nak!” itu suara ibuku, dan ia memang ibuku. Ibuku yang jarang sekali kulihat kehadirannya di dekatku.

Aku masih diam saja,

“Tante, terima kasih. Dara pasti sangat senang, dengan Mawar Putih kesukaannya. Juga kehadiran Tante lagi di sini. Sore kemarin, Dara belum sadar. Syukur, Alhamdulilllah berkat doa Tante, Dara kembali.” Kata Nara pada ibu.

Aku tidak tahu jika ibuku sering mengunjungiku, itu kata Nara tadi. Sore lalu. Dan ibu lagi-lagi menangis, melihat anaknya ini yang sering membuat ibunya sedih.

“Ma..” Panggilku pelan.

“Ya, Sayang?!”

“Maafkan, anakmu ini ya?” pintaku padanya.

“Kenapa? Kamu anak Mama yang baik dan tangguh. Mama yang minta maaf ya, tapi terus terang tiap hari Mama tidak pernah luput sepeserpun untuk memikirkanmu, Mama selalu khawatir. Tapi hal yang membuat kesedihan bertambah besar, Mama tidak dapat berbuat banyak. Kamu ikut Mama ya, di sana. Biar, Mama bisa terus menjagamu, Sayang..”

“Tidak, Ma. Aku tidak ingin meninggalkan banyak hal yang aku senangi di sini.” Jawabku sederharna.

“Di sana, kamu mendapatkan perawatan yang lebih baik, Sayang..”

“Di sini, aku dapat merasakan yang terbaik itu, Ma. Lingkungan yang mulai biasa aku pelajari di sini, sahabat yang sempat menjengukku, mereka membawakan hangat kehidupan, juga Nara yang menjagaku, dia menyayangiku, Ma. Banyak hal yang Nara berikan untuk anakmu ini. sesuatu tentang kehidupan. Makna cinta yang saling menghidupi.”

Ibuku tersenyum, kemudian memanggil Nara lebih mendekat.

“Nara, apakah kamu dapat menjamin kebahagiaan Dara? Saya tidak akan tinggal diam, jika Dara sampai tersakiti olehmu atau oleh lainnya. Kamu bersedia menjaganya?”

“Insya Allah, saya akan menjaga Dara dengan penuh Iman dan rasa amanah saya terhadap Tuhan.” Nara tersenyum lepas pada ibu dan aku.

Di Bulan Desember, Nara masih setia mempertahankan segi-segi kerapuhan yang kulihat di matanya ketika ia memandangku. Ia membuat ibuku tersenyum bangga padanya, untuk pertama kali kulihat senyuman ibuku yang berbeda. Lebih menawan. Dulu, kata-kata kecilku masih hangat sekali, “Mungkin, aku tidak akan pernah menikahi manusia di bumi kecil ini.”. Ibu memelukku lama, begitu juga aku sebaliknya. Ibuku akan pergi lagi setelah ini ke benua yang berbeda denganku, dan aku akan pergi lagi dari ruangan ini untuk terapiku yang kesekian kalinya.

Kail-kail kecil umpan dalam kehidupan

Berada dan mengikuti untuk saling mendapatkan

Makna-makna besar yang berlarian kecil

Di tengah samudera cinta-Nya

***

Aku diam, bahkan mungkin mutupkan lama mataku yang telah lelah. Suara-suara yang terbang, menunggu suaraku tiba. Memanggil-manggilku. Kudengar ada doa di sana, senyuman yang tak terlihat jelas. Udara makin berat. Tubuhku makin ringan, mudah saja angin mengangkatku jika angin mau. Menggiring pasir laut, menggiring pasir bukit, menggiring pasir dari masa silamku.

Di dalam bayangan yang lain dari tepi ketika mata menutup. Bayangannya suka berjalan, ke mana saja. Melewati persimpangan. Tidak berniat akan berhenti pada belokan utama atau kedua, ketiga dan selanjutnya. Dia suka melawan arus, perbedaan, dan keasingan. Memandang dengan cara berbeda, dari akar-akar yang dengan sungguh terus ia gali cari hingga fosil-fosil kerak bumi. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun iya percaya akan hidup lebih lama, setelah dapat melewati jembatan yang amat besar. Namun jembatan itu telah lama putus. Sisa waktunya ia habiskan dengan menuliskan hal-hal yang terjadi, dalam perjalanan ketika mata dan hati tidak perlu lama bersandiwara karena ia sendiri. Dia suka menulis dan ingin menjadi penulis, begitu yang kuketahui sedikit tentangnya. Mungkin ia tidak jauh beda denganku, yang suka terus melangkah mesti harus dipaksa menepi. Menanggung beban dan luka hingga kering dan basah kembali.

dari sini bisa kubungkus bintang dan bulan

dalam kantung hitam. cahaya-cahaya menelusup

kemudian menuju tubuhku, agar tetap hidup

dari basah kembali ke basah

ke mana saja

suka melangkah..

(Bersambung..)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun