“Dara..” Panggil Nara, mulai bangkit dari sofa berwarna coklat muda lalu menghampiriku.
Aku berusaha keras melekukkan bibir untuk tersenyum.
“Kamu sudah berjuang. Bertahan. Maafkan aku, yang tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin menggantikan posisimu, jika saja aku dapat melakukan hal itu.”
“Tidak Nara, karena mulah aku bertahan, karena Tuhan selalu mendengar doamu, juga doaku." sejenak diam, melihat jam di dinding yang belum berganti dari bundar. "Sebentar lagi Duhur, aku ingin kamu menjadi imam ya? sudah lama kita tidak berjamaah bersama-sama. Kemudian bacakanlah hafizdhmu lagi, aku merindukan ayat-ayat suci itu.” Kataku perlahan pada Nara.
Nara tersenyum, begitu yang selalu ia turunkan dari dalam hatinya, ke dalam mata hatiku. Aku menyenangi keberadaannya, meski hanya separuh. Separuh itu adalah kesedihan kami bersama. Namun, aku dan Nara selalu berusaha bahagia, dengan itu kesedihan bukan alasan yang lebih baik untuk kami merasakan indahnya sisa kehidupan ini. Aku mengerti Tuhan yang dengan segala Kemahaan-Nya, Ia baik padaku. Ia memberiku waktu lagi, untuk melunasi hutang-hutangku kepada-Nya.
Cinta tak pernah hilang, bagi pemiliknya yang telah memelihara cinta dengan kecintaan yang luar biasa. Pengorbanan, air mata, dua hal yang menjadi bahan bakar cinta, agar tak padam. Tuhan telah berbaik hati, menyediakan cinta di langit untuk kita petik, kemudian kita bagikan di bumi. Menara-menara cinta yang bercahaya, seperti kaki-kaki kecil syurga yang berada di alam fana ini.
“Sayang, apa yang isi doamu tadi?” Ujar Nara, setelah membaca 2 juz hapalan hafizhnya.
“Doaku tidak terlalu panjang dan terkesan biasa seperti doa-doa lainnya, Nara.” Jawabku sambil melirihkan mata ke lampu yang menempel di dinding.
“Iya, aku ingin tahu jika kamu memperbolehkanku mendapatkan jawabanmu.”
“Cukup Tuhan, mengetahui do'a dari hambanya yang baru ini Nara..”
Nara merunduk, “Dalam doaku, aku ingin kamu bersamaku, dalam kehidupan ini dan setelahnya. Karena kamulah kebutuhanku, bukan hanya sebuah ingin. Aku ingin melihatmu bahagia selamanya, Sayang. Bahkan ketika aku tak mampu lagi membuatmu bahagia, namun aku selalu berusaha. Aku tahu mengapa aku butuh bahagia, karena setelah menemukanmu, bahagia itu ternyata keindahan yang tak terpelak. Setidaknya begitu menurutku.” Nara diam sejenak, “Kamu tahu, Sayang? Aku di sini, dan begitu seterusnya berada dekat denganmu. Meskipun kelak aku tak dapat menyentuh tanganmu lagi seperti ini, pastikanlah hati kita saling menggenggam satu.”