“Kamu harus sembuh, dan menjadi ibu dari anak-anakku. Itulah alasan aku berada di sini denganmu, menemanimu walau tak penuh waktu. Itu karena aku mencintaimu, Sayang. Penyempurnaan cinta adalah ikatan suci.” Ujar Nara lebih dekat memandangku.
“Nara, aku juga mengerti. Kita dipertemukan karena Tuhan. Dan, kita sama saling mencintai. Tapi aku sakit-sakitan Nara. Kamu akan selalu sedih, dan juga aku. Cinta bukan untuk itu.” Jawabku mengelak.
Lama aku dan Nara berbicara mengenai kehidupan selanjutnya. Tapi yang kudapat tinggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah sempurna padam begitu saja dari hatiku. Seperti Sore ini, Jakarta Selatan dirundung hujan. Langit makin mendung. Aku tak dapat melihat pelangi, seperti mana kanakku dulu. Mengunjungi Situ Gede, duduk di atas rakit, sambil memandangi pelangi yang tak bulat sempurna itu. Atau ketika musim layang-layang, di sawah yang hijau semua. Aku senang berlari, meski akhirnya aku harus menghadapi lumpur yang merayapi kakiku, juga ketika pulang Ibu selalu memarahiku, karena bajuku kotor jadinya.
Aku mencintai sisa waktuku, karena aku percaya Tuhan dekat denganku. Ia selalu mengajakku untuk tetap bertahan. Aku pun kerap tersenyum lugu, meski aku tidak tahu Tuhan ada di mana. Ia menitipkan malaikat yang ada dalam jiwa Nara. Kukira itu alasan, mengapa aku bertahan.
Kemudian, detik dari detik. Kuperhatikan jam yang setia berputar, dan begitu seterusnya. Jam itu tampak biasa saja memutari hal yang sama dilewati sebelumnya. Kapan aku dapat memiliki jam yang bebas kuputar maju atau mundur sesukaku. Seperti menjadi Tuhan. Yang Dzahir dan Yang Bathin. Benarkah aku telah gila?
Lama aku diam, Nara yang di sampingku kerap mengajakku tersenyum. Melepaskan berbagai macam pikiranku yang rumit. Dari ruang-ruang yang kedap, atau dingin AC yang bertahan. Aku di dalam, dengan Nara. Dari luar pintu, aku dapat mendengar suara-suara asing, tapi hanya kilasan.
Gaung yang berlarian ditelinga
Tak pernah lepas begitu saja dengan biasa
Wanita dengan mata kecil sedang bertahan
Penuh aba-aba dengan sisa kehidupan.
Aku suka dengan bait di atas, aku bersyukur tanganku telah bersedia menuliskannya begitu saja. Hati dan pikiranku sulit remuk, makanya aku suka menulis, suka bait di atas. Berkata-kata dengan mudah, namun tak pernah hilang dan tertahan. Di tanganku semua bisa jadi, apa yang kuinginkan. Akan tetapi tidak dengan penolakan kehidupan ini. Semua berkata begitu rupa, tapi kerap tiada sama.