Lorong masih panjang, lantai berwarna merah. Dan dinding-dinding kasar yang tak terlihat rela saat sandar memetakkan pelampiasan. Dara, namaku. Wanita yang telah lama terbaring, di salah satu ruang sepanjang lorong ini. Dara, namaku. Perempuan yang suka menuliskan sisa kehidupan, di atas ranjang kecil. Tempat perempuan ini membaringkan tubuhnya, mata, kaki, dan tangannya. Tapi api sering bergoyang dikepalaku. Dan kedua kakiku yang telah lumpuh, serupa direndam lumpur lapindo yang telah jadi batu.
Aku berjalan lama, menuju tujuanku di sana. Berjalan dengan roda yang berputar pelan. Tapi aku duduk bukan berjalan, tapi ada gaya dorongan dan aku seperti berjalan menuju tempat itu. Nara, dia sahabatku. Sahabatku yang suka menemaniku, juga suka memarahiku. Tapi aku diam, dan ia sahabat jiwaku yang penuh dengan kasih. Untuk ukuran manusia. Sepanjang Aku dan Nara bersama, seolah tidak ada yang lain kukenal dalam kehidupan ini. meski lorong ini berisi wajah-wajah asing yang kerap menyapaku. Namun aku tak mengenal satu pun di antara senyuman palsu itu. Tapi Nara selalu sempatkan waktu untuk mengunjungiku di sini, berjalan-jalan lewati lorong sempit, dan panjang.
Nara, panggilku pelan. Setelah 3 meter panjang lantai terlewat. Ya, jawabnya sambil mengangguk mendekati mataku. Kataku pelan, kukatakan padanya bahwa aku ingin pulang menikmati kehidupan seperti biasa. Tapi ia tidak menjawab, dan melanjutkan laju yang tertahan. Aku kembali menunduk. Ia tahu aku murung karena ia tidak menjawabku. Tapi aku biarkan ia membawaku entah ke mana lagi. Menyusuri tiap lorong Rumah Sakit ini, aku nyaris hapal lorong-lorong Rumah Sakit ini.
“Dara..” panggil seseorang di sampingku.
“Ya?” jawabku seadanya.
“Kamu anakku, dan selamanya begitu.” Itu kata Ibuku, yang datang tiba-tiba di sampingku.
Tapi aku diam.
Ibu menangis, seperti mengeluarkan air bah yang tertahan lama. Begitu deras.
“Sayang, Mama di sini! Mama menyayangi kamu!” Ibu mulai erat memegang lenganku, itu sakit sekali. Tubuhku lebih rapuh dan mudah merasa sakit. Tapi ibuku tak mengerti, dan terus lebih kuat mengerat lenganku.
“Tante jangan khawatir.” Kata Nara meredam emosi ibuku. “Ada saya, yang terus menemani Dara di sini. Saya yakin Dara akan baik-baik saja..”
“Tidak!” sontakku, “Aku tidak akan baik-baik saja berada di sini!”