“Kamu pasti sembuh, jangan memikirkan banyak hal dulu..” bujuknya.
“Iya, Nara. Besok aku akan keluar dari sini. Menjadi orang sehat seutuhnya.” aku tersenyum padanya.
***
Ini malam ke 34. Aku sudah dapat tersenyum, karena mulai terbiasa. Duduk dengan mudah, atau semua sakit di otakku ini kadang padam begitu saja. aku merasa jauh lebih baik. Setelah empat hari terbangun karena tiga minggu terbaring koma, kata Nara. Tapi aku tak ke mana-mana hingga sampai kembali di sini. Yang telah kulalui seperti beberapa jam lalu, melihat tubuh sendiri terbaring dan begitu, tanpa daya.
Aku suka hidup kembali, dan menjadi manusia baru. Barangkali begitu. Tapi aku tetap di sini lagi, belum selesai sakitku. Dan mataku yang kian rabun, seperti ketikan bunyi dari jantungku, makin melambat. Nara tetap bersama denganku. Ia belum bosan. Kini, ia menangis mengetahui aku yang tak jadi putri tidur selamanya. Mungkin karena ia batal menjadi pangeran yang akan menciumku untuk pertama kali. Ia menangis, mata laki-laki berbeda dengan mata wanita ketika menangis.
malaikat-malaikat penuh sayap
kerap tersenyum merayakan
hari-hari kehidupan.
***
Beberapa Nurse mendekat, membawa tiga dokter. Jika dijumlah, kukira sekitar 6 orang jika tidak salah kumenghitung jumlahnya. Mereka mulai memperlakukanku seperti sedang mengotopsi jenazah korban pembunuhan atau tersangka. Menggeledah tubuhku, dan mengambil jarum-jarum runcing, menembus jaringan epidermis kulit, melepas beberapa selang di tubuhku -yang baru. Tapi rambutku kian rontok. Tangan kiriku sering bergetar. Dan mereka terus tersenyum padaku. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” begitu kata dokter yang paling dekat dengan kepalaku, ia berkaca mata, putih, dan bertubuh tinggi, percis orang Belanda. Selama pemeriksaan, aku melihat Nara menyenderkan kepalanya di tangannya yang bertahan menyangga beban. Aku melihat ia menangis dari jauh sini. Aku seperti melihat aba-aba perpisahan. Namun, itu salah. Kami tetap bersama.
Setelah pemeriksaan selesai,