Aku diam, bahkan mungkin mutupkan lama mataku yang telah lelah. Suara-suara yang terbang, menunggu suaraku tiba. Memanggil-manggilku. Kudengar ada doa di sana, senyuman yang tak terlihat jelas. Udara makin berat. Tubuhku makin ringan, mudah saja angin mengangkatku jika angin mau. Menggiring pasir laut, menggiring pasir bukit, menggiring pasir dari masa silamku.
Di dalam bayangan yang lain dari tepi ketika mata menutup. Bayangannya suka berjalan, ke mana saja. Melewati persimpangan. Tidak berniat akan berhenti pada belokan utama atau kedua, ketiga dan selanjutnya. Dia suka melawan arus, perbedaan, dan keasingan. Memandang dengan cara berbeda, dari akar-akar yang dengan sungguh terus ia gali cari hingga fosil-fosil kerak bumi. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun iya percaya akan hidup lebih lama, setelah dapat melewati jembatan yang amat besar. Namun jembatan itu telah lama putus. Sisa waktunya ia habiskan dengan menuliskan hal-hal yang terjadi, dalam perjalanan ketika mata dan hati tidak perlu lama bersandiwara karena ia sendiri. Dia suka menulis dan ingin menjadi penulis, begitu yang kuketahui sedikit tentangnya. Mungkin ia tidak jauh beda denganku, yang suka terus melangkah mesti harus dipaksa menepi. Menanggung beban dan luka hingga kering dan basah kembali.
dari sini bisa kubungkus bintang dan bulan
dalam kantung hitam. cahaya-cahaya menelusup
kemudian menuju tubuhku, agar tetap hidup
dari basah kembali ke basah
ke mana saja
suka melangkah..
(Bersambung..)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H