Seakan hari itu, adalah hari perpisahan bagi aku dan Nara. Mendung dari balik jendela, belum memadamkan lampu-lampu dan suara ketikan jantungku di dalamnya. Seolah ada banyak awan memasuki ruangan, awan-awan yang tidak menurut turunkan hujan, mereka turunkan pelangi di mata-mata yang menginginkan. Atau dibalik cahaya megah dan menjulang tinggi itu, kulihat malaikat berdiri di sampingku. Tapi aku belum tahu Malaikat itu serupa apa, mata dan imaji belum dapat menyentuh sisi-sisi yang berbentuk Malaikat. Ini bukan hari kematianku. Aku masih melanjutkan ceritaku yang masih belum selesai.
Dari balik pintu, ada yang mengetuk-ngetuk. Dari rabun, makin mendekat. Wanita yang sudah tak muda, membawakan seikat mawar putih kemudian ia memberikan ikatan itu pada Nara, dan berlari, akhirnya jatuh menimpaku.
“Sayang… Mama di sini. Mama sangat sayang sekali padamu, Nak!” itu suara ibuku, dan ia memang ibuku. Ibuku yang jarang sekali kulihat kehadirannya di dekatku.
Aku masih diam saja,
“Tante, terima kasih. Dara pasti sangat senang, dengan Mawar Putih kesukaannya. Juga kehadiran Tante lagi di sini. Sore kemarin, Dara belum sadar. Syukur, Alhamdulilllah berkat doa Tante, Dara kembali.” Kata Nara pada ibu.
Aku tidak tahu jika ibuku sering mengunjungiku, itu kata Nara tadi. Sore lalu. Dan ibu lagi-lagi menangis, melihat anaknya ini yang sering membuat ibunya sedih.
“Ma..” Panggilku pelan.
“Ya, Sayang?!”
“Maafkan, anakmu ini ya?” pintaku padanya.
“Kenapa? Kamu anak Mama yang baik dan tangguh. Mama yang minta maaf ya, tapi terus terang tiap hari Mama tidak pernah luput sepeserpun untuk memikirkanmu, Mama selalu khawatir. Tapi hal yang membuat kesedihan bertambah besar, Mama tidak dapat berbuat banyak. Kamu ikut Mama ya, di sana. Biar, Mama bisa terus menjagamu, Sayang..”
“Tidak, Ma. Aku tidak ingin meninggalkan banyak hal yang aku senangi di sini.” Jawabku sederharna.