“Terus apa yang harus Mama lakukan, Sayang?” tanya Ibuku dengan wajah yang makin luput.
“Mama tahu, sudah lama anakmu ini sakit terus. Dan terkurung di sini. Ini hanya menunda kematian! Aku ingin hidup, Ma! Merasakan menjadi manusia di luar sana! Bukan di dalam sini.” Aku pun akhirnya sama menangis dengannya.
“Dara, setelah kamu sembuh. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” Lagi kata Nara.
“Iya, Sayang. Kamu pasti sembuh…” kini kata ibuku lagi.
Aku hanya ingin pulang.
Ibu tidak pernah yakin, beberapa inci dari sini adalah sama membesarkan lubang hitam yang terus menyeret jiwaku dengan semaunya. Nara, laki-laki yang kukenal selama 12 tahun. Nara mencintaiku, juga aku. Tapi cinta seolah lebih menyakitkan. Cinta bisa jatuh di mana saja, tetapi jatuhnya cinta tidak pernah salah. Dan aku tidak ingin ia ikut sakit karena cinta, yang telah menyatukan jiwa kami. Aku sakit dan ia sehat. Aku di sini, namun ia bisa bebas memilih di mana ia akan berada dan melanjutkan hidupnya. Tapi ia enggan pergi, meninggalkanku yang sering sakit-sakitan, menunggu kematian menyembuhkan.
“Nara.” Panggilku pelan, saat beranda sore tak pernah jelas kami nikmati di antara kaca-kaca ruangan ini.
“Ya, Sayang?”
“Apa yang kamu harapkan dariku?” kataku dengan ragu.
“Aku mengharapkan kamu sembuh, dan setelah ini kita akan berdampingan dipelaminan, juga melengkapi sisa kehidupanku, kehidupan kita.” Katanya mesra.
“Bagaimana jika aku tak sembuh? Dan tak dapat mendampingimu dipelaminan itu?”