Mohon tunggu...
Affandio Wadud Angkat
Affandio Wadud Angkat Mohon Tunggu... Mahasiswa - 431210102727, Mahasiswa S1 Manajemen, Univeristas Mercubuana Jakarta, Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak KELAS F032100026 - Selasa 13:15-15:45 (B-306)
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2_Etika dan Hukum Plato

26 Mei 2022   08:52 Diperbarui: 26 Mei 2022   09:12 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adapun pendapat Plato mengenai Jiwa yang ia klasifikasikan menjadi tiga bagian. Kata "bagian" disini juga harus dipahami sebagai "fungsi" karena dalam penyampaiannya Plato sama sekali tidak memaksudkan bahwa jiwa mempunyai keluasan yang dapat dibagi-bagi. Pendirian Plato mengenai tiga fungsi jiwa tentu bisa dibilang sebagai sebuah kemajuan besar dalam pandangan filsafat tentang manusia. Bagian pertama ialah bagian rasional (to logistikon). Bagian kedua ialah "bagian keberanian" (to thymoeides). Bagian ketiga ialah "bagian keinginan" (to epithymetikon). Pada "bagian keberanian" dapat dibandingkan dengan kehendak, sedangkan "bagian keinginan" menunjukkan hawa nafsu.

Plato mengabungkan ketiga bagian jiwa masing-masing tersebut dengan salah satu keutamaan tertentu. Bagian keinginan mempunyai pengendalian diri (sophorosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk "bagian keberanian" keutamaan yang spesifik (andreia). Sementara, "bagian rasional" dikaitkan dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis atau sophia).

Dikatakan bahwa, karena hukumlah sehingga jiwa dipenjarakan dalam tubuh. Secara mitologis, kejadian ini diuraikan dengan pengibaratan jiwa laksana sebuah kereta yang bersais (fungsi rasional), yang ditarik oleh dua kuda bersayap, yaitu kuda kebenaran, yang lari ke atas, ke dunia ide, dan kuda keinginan atau nafsu, yang lari ke bawah, ke dunia gejala. Dalam tarik-menarik itu akhirnya nafsulah yang menang, sehingga kereta itu jatuh ke dunia gejala dan dipenjarakanlah jiwa.

Agar jiwa dapat dilepaskan dari penjaranya, orang harus mendapatkan pengetahuan, yang menjadikan orang dapat melihat ide-ide, melihat ke atas. Jiwa yang di dalam ini berusaha mendapatkan pengetahuan itu kelak setelah orang mati. Jiwa akan menikmati kebahagiaan melihat ide-ide, seperti yang telah dia alami sebelum dipenjarakan di dalam tubuh. Plato berpendapat bahwa ada praeksistensi jiwa, dan jiwa tidak dapat mati. Hidup di dunia bersifat sementara saja. Sekalipun demikian, manusia begitu terpikat kepada dunia gejala yang dapat diamati, sehingga sukar baginya untuk naik ke dunia ide. Hanya orang yang benar-benar mau mengerahkan segala tenaganyalah yang akan berhasil.

Hukum Menurut Aristoteles

Selain itu ada juga Aristoteles yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian hukum. Seperti yang kita ketahui Aristoteles adalah salah satu murid dari plato. Pandangan Aristoteles tentang hukum berbeda dengan Plato, terutama dalam memahami hakikat negara. Aristoteles berpendapat bahwa manusia sejatinya adalah makhluk politik (zoon Politikon), istilah ini diartikan bahwasan nya  manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bergantung dengan manusia lainnya. Menurut pandangannya manusia akan selalu saling membutuhkan satu sama lain di dalam hidupnya. Atas dasar konsep inilah Aristoteles menganggap negara sebuah negara sebagai hasil hubungan dari bagian-bagian yang ada dari yang terkecil mulai dari individu, hingga yang terbesar yaitu ke lingkungan sekitar. Menurutnya Setiap individu pada hakikatnya menghendaki adanya dalam hidupnya.

Selanjutnya dalam melihat ketergantungan yang saling mengikat antara sesama manusia inilah yang pada akhirnya mendorong terbentuknya suatu negara. Lahirnya sebuah negara tentunya didasari oleh kebutuhan warga negaranya. Sederhana nya bahkan Aristoteles menganalogikan negara sebagai sebuah tubuh manusia yang terdiri atas organ tubuh yang saling bergantung. Gabungan dari berbagai bagian  individu inilah yang kemudian menciptakan terbentuknya sebuah negara.

Aristoteles juga berpendapat bahwasannya negara adalah sebuah lembaga politik yang paling berdaulat, walaupun bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Kekuasaan tertinggi dalam negara terbentuk dipicu oleh tujuan yang ingin di capai dan dimilikinya yaitu untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Tujuan dari negara adalah memberikan gambaran bahwa negara berdiri untuk memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh warganya. Selain itu negara juga lahir untuk menjamin kebaikan bagi seluruh rakyatnya. Dengan kata lain, bagi Aristoteles, dia menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Dalam melihat pandangan Aristoteles terhadap kekuasaan, dia mengklasifikasikan siapa saja yang berhak memegang kekuasaan dan juga mengkalsifikasikan jenis kekuasaan. Dalam konteks siapa yang layak memegang kekuasaan, Pendapat Aristoteles berbeda dengan Plato. Plato yang membatasi hak atas kepemilikan. Namun Aristoteles membenarkan bahwasannya setiap manusia mempunyai hak atas kepemilikan harta dan juga barang. Dalam pembahasan ini Aristoteles menganggap bahwa hak kepemilikan berkaitan dengan kebahagiaan. Tentu saja seharusnya sesuai dengan tujuan negara yang mengedepankan kebahagiaan rakyatnya, maka saharusnyaa negara tidak melarang bagi rakyatnya untuk memiliki sumber harta.

Namun yang perlu kita perhatikan adalah Aristoteles tidak pernah membenarkan seseorang dalam menumpuk kekayaan. Milik menurut definisinya adalah alat. Yaitu alat yang digunakan oleh manusia dalam memenuhi  kebutuhannya sehari-hari dan alat agar ada waktu luang untuk mencurahkan perhatian ke dalam masalah masyarakat. Sebagai sebuah alat, maka ia dipergunakan, tetapi tidaklah sesuatu yang menjadi tujuan. Dari konsep kepemilikan ini, Aristoteles mengklasifikasikan masyarakat  berdasarkan kelompok kekayaannya yang pada akhirnya akan berimbas pada konstitusi ideal.

Menurut pandangan Aristoteles, kemiskinan dapat mengurangi perhatian seseorang dalam melihat persoalan-persoalan yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan kekayaan yang ditumpuk akan menyebabkan seseorang melupakan persoalan-persoalan dan kepentingan yang ada di sekitarnya. Karena pada akhirnya akan memiliki keterbatasan waktu untuk mengurusi persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Namun, ada kelompok menengah dalam jumlah besar yang memiliki cukup harta yang tidak bisa dibilang miskin, kelompok ini menurut Aristoteles disebut sebagai kelompok yang layak  memegang kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun