Perlahan, ketenangan kembali mendatangiku, kenyamanan dan kebahagiaan menyusul kemudian. Pun kata-kata J yang lembut tak terasa apa-apa selain membuatku bergairah.
Aku sudah masuk perangkapnya. J tak membiarkan aku menemukan kesadaranku. Setiap aku kembali ke dalam keadaan normal, di mana aku merasa bahwa ini sudah melewati batas dan sangat menjijikkan, J akan dengan berbagai cara menggiringku kembali dalam keadaan tak sadar dengan rokok-rokok kecilnya.
Dalam keadaan sadar, pikirkanku menuntut untuk mengakhiri ini, apa pun caranya. Celakanya, jika aku dalam keadaan seperti itu, rasa kecanduanku pada rokok-rokok kecil J juga menuntutku segera mendapatkannya, bahkan ketika akhirnya aku sadar jika aku mulai berubah. Ada sesuatu yang hidup di dalam perutku dan terasa benar bahwa dia semakin besar. Aku hamil.
“Aku hamil, kak,” kataku pada J ketika pada malam-malam ia pulang. Ia tak menjawab kecuali diam dan diam saja. Esok harinya ia tak pulang dan demikian juga esok lusanya.
J tak pulang. Ia membiarkanku di rumah sendirian dalam keadaan mengandung, sakauw, dan tak berdaya. Terkadang aku berharap ada yang datang untuk menolongku, tapi seringkali kumentahkan dengan keinginanku untuk mati saja. Menyusul ibu mungkin akan lebih baik karena ibu pasti tak akan membiarkanku.
Ketika akhirnya aku memutuskan untuk menggantung diriku sendiri, beberapa orang masuk dan mereka berteriak histeris mendapatiku berkalung tali dan hampir melompat.
Dalam sisa kesadaranku, aku melihat beberapa teman sekolahku, guru, dan tetanggaku.
“Veronica, jangan!”
“Kumohon Veronica!”
“Biarkan aku mati!”
Aku sudah berkeputusan.