Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Veronica

16 Juni 2016   11:14 Diperbarui: 16 Juni 2016   13:48 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu mati dan aku seperti kehilangan tangan dan kakiku. Ayah? Aku tak yakin apakah aku memilikinya, karena sejak hari-hari dalam hidupku bisa aku ingat, hanya ada ibu dan J, kakak laki-lakiku di dalam rumah, di dalam kehidupanku. Tak pernah ada yang lain. Aku pernah bertanya pada ibu mengenai ayah, tapi ibu menggumam tak jelas.

J, kakak laki-lakiku menangis ketika ibu mati. Dan ia masih terus menangis ketika orang-orang yang memenuhi rumah kami telah kembali ke rumah mereka sendiri-sendiri. Hanya kami berdua. Aku berpikir ia sedih karena ibu mati, dan itu sangat wajar. Tapi aku terkejut ketika ia mengatakan bahwa ia sedih karena harus menggantikan ibu merawatku.

Aku mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa aku akan belajar melakukan segala sesuatu sendiri. Dalam beberapa hal aku merasa pasti bisa melakukannya, seperti melipat selimut dan merapikan tempat tidurku sendiri, menggoreng telur untuk sarapan, membersihkan rumah dan mencuci pakaianku sendiri.

“Aku tak akan merepotkanmu untuk hal-hal itu,” kataku pada J.

“Aku harus mendapatkan uang, itu yang kupikirkan,” kata J.

“Ibu punya tabungan, kan?”

“Tabungan? Kau pikir itu akan bertahan sampai kapan?”

Aku tahu. Persoalan utama adalah uang, penukar segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk bertahan hidup. Aku mencoba untuk sepaham dengan J. Ia memang lebih tua dariku beberapa tahun, tapi dia belum seorang laki-laki dewasa. Ia selama ini juga masih bergantung pada ibu, seperti aku.

Naluri menggerakkan aku dan J untuk melakukan kesepakatan senyap. Aku mencoba mengerjakan segala sesuatunya di rumah meski sangat berantakan dan J mengkritikku. Kau mencuci kurang bersih, V, atau, kau memasak garam dengan bumbu sayuran, ya?

Begitulah, tapi aku tak menyerah. Suatu saat aku akan bisa melakukannya dengan lebih baik.

Maka hidup kami tak kurang selain kematian ibu sendiri. J memutuskan berhenti kuliah dan bekerja serabutan. Entah apa pekerjaan yang dijalani J, dan di mana. Aku tak memikirkan itu karena aku memilih untuk menggantikan peran ibu di rumah sebagai keseimbangan untuk J yang menggantikan peran ibu mencari nafkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun