“Bukankah Harman...?”
“Aku memilih anak-anak, bukan Harman.”
“Biarkan takdir menyatukan kembali mereka, dan menyatukan kembali kita,” aku memohon lagi.
“Aku akan keluar dari garis bodoh yang menghubungkan kita berempat,” cetusnya, “kau kembali padaku, dan Harman kembali pada Maharani. Kau pikir itu selesai? Tidak. Kau akan mencari waktu untuk bersama Maharani, dan Harman mencari waktu bersamaku. Kau dan Harman, mempunyai cinta yang sama padaku dan pada Maharani. Kita akan tetap bodoh, dan anak-anaklah korbannya. Ini akan sangat melelahkan, karena seumur hidup kita hanya akan saling mengkhianati, mengagungkan nostalgia yang bodoh. Itu tak baik sama sekali. Maka aku memutuskan untuk keluar dari garis bodoh ini bersama anak-anak.”
Usai mengurai kalimat panjang itu, wajahnya kini serupa malam yang dingin tanpa senyuman.
“Secepat ini kau berubah?”
“Cepat atau lambat kita memang harus berubah. Dari bodoh menjadi cerdas.”
Malam melarutkanku dalam ketidakberdayaanku untuk bicara lagi.
“Kalau kau masih bisa mencuri kesempatan menikmati cinta berbeda dengan kebohongan tak tercium, mungkin kau akan mengatakan itu cerdas, tapi ketika Maharani melakukan itu padamu, kau tahu bahwa itu adalah kebodohan yang melukai dan tak termaafkan. Meskipun aku sudah membalas apa yang dilakukan Harman, tapi rasanya aku malah melukai anak-anak.”
“Mereka tak tahu apa-apa.”
“Mereka tumbuh menjadi besar, jangan lupa itu,” tepisnya, “kau sendiri, apa yang kau pikirkan tentang Maharani sekarang?”