“Itulah kenapa aku meneleponmu. Harman harus tahu bahwa bukan dia saja yang bisa melakukan itu. Maka aku mencoba mencari kembali apa-apa yang ada pada nostalgia bersamamu, dan sungguh, aku menikmati waktu-waktu itu. Tapi tentang anak-anak, belakangan aku merasa sangat bersalah.”
“Kau bohong kan, tentang Maharani?” aku mencoba meyakinkan bahwa itu kebohongannya saja.
“Kurasa kecerdasan emosionalnya jauh lebih stabil darimu. Ia tahu tentang kita, maka ia mungkin terlihat bodoh olehmu. Aku pernah datang menemuinya ketika aku tahu ia selalu mencuri waktu untuk bernostalgia bersama Harman. Kau tahu, ia telah memulainya jauh lebih dulu, maka kau percaya wajah tak berdosanya.”
Aku kembali diam. Maharani? Benarkah begitu? Lebih dulu?
“Jadi kau benar-benar tak tahu, ya?”
Pertanyaannya terasa mengolok.
“Itulah yang terjadi dengan kita berempat. Aku tak peduli lagi dengan Harman. Aku tak peduli kalau dia benar-benar akan memilih Maharani, tapi aku telah memutuskan untuk memilih anak-anak,” ungkap Dyah Ayu.
“Pilihlah cinta kita, biar kita semua impas,” ujarku. Separuh memohon.
“Tidak, aku memilih anak-anak.”
“Kenapa?”
“Mereka takkan mengkhianati.”