“Aku melupakannya saja, karena mereka akan membuat kekacauan. Aku baru mengingatnya ketika aku kembali,” sahutku.
“Aku juga begitu,” ia berkata, “tapi belakangan mereka tak mau pergi kalau sudah datang menyusul. Mereka terus merengek dan memintaku untuk pulang. Bahkan, baru saja mereka memintaku untuk mengakhiri ini.”
“Bagus sekali,” tukasku, “kau ingin mengakhiri ini. Tapi mestinya kau memberiku alasan yang lebih masuk di akalku dari pada bersembunyi di belakang anal-anak.”
“Apapun, aku mulai tak bisa menikmati ini ketika anak-anak sudah datang menyusul. Aku tak bicara takut, tak pula bicara dosa, tapi wajah anak-anak sungguh membuatku sedih. Seharusnya mereka memiliki ibu yang baik, bukan ibu yang selalu meninggalkan mereka untuk bersenang-senang dengan orang yang bukan ayah mereka dan melupakan mereka.”
“Jadi, kau benar ingin mengakhiri ini?”
“Aku tak yakin. Aku mencintaimu, tapi, entahlah. Anak-anak mulai memaksaku untuk menelisik lagi.”
Menelisik lagi. Kata apa itu.
“Harman mulai curiga?”
Ia menggeleng.
Ah, ia sungguh aneh petang ini. Bukan manja seperti bisaa. Jika pun ia bicara tentang anak-anak, maka ia akan bercerita tentang kelucuan mereka, atau, taktik baru agar anak-anak mau ditinggal untuk, pergi bersamaku.
Tapi pada petang di pantai ini ia menceracau tentang anak-anak yang ia katakan terus mengikutinya. Entah apa yang terjadi pada ia dan anak-anaknya.