“Aku memikirkanmu ketika aku ada bersama mereka di rumah. Tapi, aku memikirkan mereka sekarang ini. Aku merasa ada di persimpangan. Sepertinya sudah saatnya aku memilih.”
“Apa yang akan kau pilih?”
“Kurasa kau tahu, kau akan memilih apa.”
“Kau akan memilih sekarang?”
“Aku belum tahu...”
Aku meneruskan diamku. Matahari sejenak telah menyelam dalam ke laut. Aku merasa kisahku bersamanya tiba-tiba saja sudah tiba di ‘ujung petang’, berhias lembayung beserta debaran gelisah. Mungkin sebentar lagi malam akan menelan dalam-dalam kisah ini. Seperti cakrawala laut sepanjang ujung pantai dan pulau kenangan menelan matahari jauh ke dalam.
“Aku tahu kau keberatan,” gumamnya, “tapi pernahkah terpikir olehmu bahwa sekarang ini mungkin kau sedang berada di sini bersama Maharani, setelah sebelumnya bicara tentang meeting dengan klien padaku lewat telepon, seandainya kita menikah dulu?”
Aku masih diam. Kata-katanya leluasa mengurai di otakku.
Mungkin saja.
“Aku tak tahu, sebodoh apa kita. Tapi kurasa, kita berempat memang sangat bodoh,” kata Dyah Ayu lagi.
Kita? Berempat? Apa yang dia bicarakan?