Aku mengungkap pertanyaanku dengan pandanganku.
“Kau yakin Maharani percaya padamu?”
“Aku tak tahu. Tapi dia ibu yang baik untuk anak-anak.”
“Kau percaya padanya?”
“Kurasa begitu, kenapa?”
Ia tertawa, “mereka sama dengan kita.”
“Mereka? Siapa?”
“Kau ini terlalu sibuk menikmati kepuasan dari rasa pintarmu mengelabui Maharani, sampai kau lupa bahwa kau sendiri bisa dikelabui Maharani.”
Aku mulai tak nyaman dengan arah pembicaraannya. Ia sepertinya memang telah berubah. Kata-katanya membuat pulau kenangan yang menghitam oleh malam itu seakan tak pernah memberiku kenangan indah.
“Harman dan Maharani telah memulainya lebih dulu dari kita. Kisah mereka dulu lebih istimewa. Kau tahu, mereka jauh lebih sentimentil. Mereka juga selalu mencuri waktu seperti yang kita lakukan untuk pergi bersama.”
Ada hawa panas yang tiba-tiba menyesak dalam hati dan pikiranku. Ia pasti berbohong. Kurasa ia sedang mencari cara untuk mengakhiri dengan membuat kebohongan tentang Maharani.