Aku tersenyum dan mulai sadar jika lelaki itu ternyata bisa juga menyenangkan.
“Kau bisa bangun rumahmu dengan uang ini, biar tamumu tak merasa rugi jika harus membayar mahal untuk ‘bertamu’ padamu,” kata lelaki bau busuk itu.
“Kau tahu apa yang kulakukan sekarang?” tanyaku.
“Telingaku banyak.”
Aku diam saja.
“Ngomong-ngomong, cara pengembaliannya seperti sebelumnya bukan?” aku bertanya.
Ia tertawa geli, “tentu saja. Kau hanya perlu tanda tangan di sini.”
Ia menyodorkan selembar kertas putih yang berisi perjanjian.
“Apa ini?” aku bertanya.
“Kali ini sangat banyak. Jangan sampai kita salah hitung. Nanti bisa timbul masalah, dan itu tidak baik, bukan?”
Aku membacanya dengan seksama. Isi pokoknya hanya bahwa hutang harus sudah lunas dalam tiga tahun.