Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengulik Kredit Atas Nama, Ragam Motif dan Polanya

26 Desember 2018   18:26 Diperbarui: 8 Agustus 2021   16:53 2015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua minggu lalu ada order pengajuan pinjaman salah satu calon nasabah. Order tersebut dikirimkan lewat pesan WA (WhatsApp) oleh teman kantor yang sudah resign satu tahun lalu. 

Rupanya calon nasabah ini meminta bantuan kepada teman tersebut untuk merekomendasikan tempat di mana bisa mengajukan kredit dana. Kebetulan kontak nomor HP saya masih disimpan oleh teman tersebut sehingga dia menghubungi saya dan menyampaikan perihal pengajuan. 

"Pagi bos, ada yang mau ajukan pinjaman," demikian sapanya via WA.

"Ok, coba WA data-datanya," balas saya

Pesan yang dikirim tidak hanya berupa teks, tapi juga disertai beberapa foto dan gambar. Rasa penasaran ingin tahu apa yang dikirim, saya lalu membuka dan melihat satu demi satu.

Ada foto KTP calon nasabah beserta pasangannya, foto KK (Kartu Keluarga), foto BPKB kendaraan roda empat tahun 2012 yang akan dijadikan sebagai jaminan dan foto STNK. Hanya itu saja. Tidak ada dokumen bukti tempat tinggal, surat keterangan usaha atau slip gaji yang menunjukkan pekerjaan calon debitur. 

Foto NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak ) juga tidak dilampirkan. Aturan terbaru dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) memang menyarankan calon nasabah baru dengan total outstanding lebih dari lima puluh juta wajib menyertakan copy NPWP pribadi sebagai salah satu persyaratan. Namun itu tergantung kepada kebijakan internal masing - masing lembaga pemberi kredit.

"Mau pinjam berapa?" tanya saya via WA

"Rencana 50 Pak," balasnya. Maksudnya lima puluh juta. "Nanti Bapak langsung berhubungan sama nasabahnya aja ya, saya hanya diminta tolong. Nomor HP nya sudah saya WA," lanjutnya

Seperti biasa untuk pengajuan seperti ini, terlebih dahulu mesti memastikan apa jaminannya. Saya melihat kembali foto unit kendaraannya, data BPKB dan faktur kemudian membandingkan dengan tahun dan tipe unit. Nama di BPKB tidak sama dengan nama di KTP calon debitur maupun pasangan. 

Saya menduga bisa jadi kendaraan milik orang tua. Bukankah ada banyak orang tua yang saking sayangnya sama anak, ketika membeli atau kredit kendaraan memohon agar nama di BPKB dan STNK ditaruh nama anaknya. Mungkin juga pada saat anaknya menikah, orang tua memberi kado pernikahan sebuah kendaraan.

Cek sekali lagi di kartu keluarga, nama orang tua dan nama mertua laki - laki maupun nama mertua perempuan tidak juga sama dengan nama di BPKB.

"Kendaraan milik siapa?" tanya saya lagi via WA

"Milik nasabahnya Pak. Infonya sudah dibeli, namun belum balik nama. Ada kuitansi jual belinya," balas teman tersebut via WA.

Jelas sudah, unit jual beli belum balik nama. Bila menjumpai status jaminan seperti ini, saya cenderung lebih aware, lebih hati-hati. Harus dipastikan benar bahwa ada kuitansi jual beli bermeterai antara penjual dan calon debitur dan bukan kuitansi yang direkayasa guna melengkapi syarat pengajuan. 

Hal ini dikarenakan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat, bila membeli kendaraan bekas baik secara perorangan maupun lewat showroom, cenderung menunda melakukan balik nama. Sebagian menunggu masa expired STNK lima tahunan agar sekalian bersamaan perpanjangan suratnya.

Kabar baiknya, beberapa lembaga pembiayaan maupun pemberi kredit masih membolehkan untuk dijadikan jaminan dengan catatan status jual belinya legal dan jelas sehingga tidak bermasalah di kemudian hari setelah kontrak berjalan.

Saya menginput data KTP ke sistem. Hasilnya, calon nasabah dan pasangan tidak memiliki catatan riwayat kredit alias belum pernah menjadi debitur. Cek di KTP, suami kelahiran tahun1990 dan istrinya 1993. Hmm...masih mud , kata saya dalam hati. Luar biasa, umur belum genap 30 tahun sudah bisa membeli mobil dan kini ajukan pinjaman sebesar 50 juta.

Saya lalu mengirimkan foto dan gambar di WA dari android saya ke komputer kantor agar bisa dicetak. Kepada seorang PIC marketing saya meminta agar bisa melakukan kunjungan ke rumah calon nasabah tersebut

"Datanya cuma ini aja ya Pak," tanya PIC marketing sembari duduk di depan meja saya

"Itu yang dikirim lewat WA. Data yang lain nanti diserahkan saat kunjungan," jawab saya.

Sorenya sekitar jam empat, PIC marketing yang menangani aplikasi itu menghubungi saya via telepon.

" Pak, order yang tadi pagi saya rejeck (tolak)," katanya

"Lho kok reject. Kenapa?" tanya saya

Ternyata alasan ditolak lantaran yang menggunakan dananya bukan calon debitur yang mengajukan pinjaman. Unitnya bukan murni jual beli tetapi mobil saudara yang dipinjamkan untuk dijadikan pinjaman. Kapasitas pekerjaan calon debitur maupun pasangan, dilihat dari skala usaha dan lingkup pekerjaan yang di lakukan, tidak sesuai dengan kemampuan membayar angsuran yang jumlahnya sekian juta per bulan.

Bila ukuran penghasilannya dirasa tidak mampu membayar angsuran, lantas siapa yang nanti bertanggung jawab membayar angsuran seandainya di approve pengajuannya? 

Usut punya usut, skenarionya nanti uang pinjaman itu dibagi sekian juta diantara mereka, yakni antara calon debitur dan saudaranya yang meminjamkam (BPKB dan unit kendaraan) sebagai jaminan. Setiap bulan mereka bersama-sama gotong royong (urunan) setor buat membayar.

Oh My God....Itu masa kreditnya tiga tahun, siapa yang harus dihubungi bila terjadi tunggakan? Nasabah yang namanya tercantum di kontrak perjanjian ataukah orang lain diluar itu? 

Mengikuti aturan, semestinya siapa yang menandatangani kontrak dialah yang bertanggung jawab. Namun realitanya, jamak terjadi alasan debitur dengan kronologis pra kredit seperti ini: Maaf ya, yang pakai uang bukan saya, tapi saudara saya (atau teman saya), ini nomor HP nya bisa langsung hubungi dia. Nah loh?

Apa itu kredit atas nama?

Kredit atas nama secara sederhana adalah pengajuan kredit oleh calon debitur kepada lembaga pemberi kredit dimana calon debitur bukan debitur yang sebenarnya. Istilahnya debitur fiktif atau debitur kw...hehe. 

Penamaan calon debitur dapat mengacu bahwa calon debitur itu adalah perseorangan (orang per orang) seperti contoh di atas. Bisa pula calon debitur itu menggunakan nama perusahaan (CV, PT, dll). Lembaga pemberi kredit bisa bank,finance,perusahaan pembiayaan atau koperasi.

Dinamakan debitur fiktif oleh sebab pengguna produk yang dikredit (dapat berupa uang atau barang), tidak sepenuhnya dinikmati oleh debitur yang namanya tercantum di kontrak perjanjian. Bahkan kadang tidak mendapat apa-apa, hanya bonus 2M, bukan 2 milyar tapi makasih -makasih..hehe. Lazimnya terjadi pada kasus dengan memakai nama keluarga, nama saudara dekat atau nama teman dengan niat membantu.

Ragam motif dan pola kredit atas nama 

Kisah yang dipaparkan di atas adalah salah satu contoh nyata dari banyak order kredit atas nama. Ada yang bisa terdeteksi saat pra credit, ada yang sudah terlanjur jalan kontraknya baru akan diketahui dari hasil analisa kunjungan pada saat terjadi default (tunggakan). 

Untuk menganalisis apakah order pengajuan itu merupakan kredit atas nama dibutuhkan kejelian dari seorang PIC marketing untuk menggali lebih dalam informasi pada saat bertatap muka. 

Terkadang juga tidak terindikasi di awal oleh sebab calon debitur tidak jujur dan berusaha menyamarkan seolah -olah dialah nasabah yang sebenarnya atau dialah pengguna atau pemakai produk (unit) yang dikredit.

Cara penyamaran calon debitur bisa lewat gesture (bahasa) tubuh, perkataan, anggukan, kepemilikan unit, tujuan penggunaaan dana dan pemalsuan data. Tidak hanya calon debitur, pasangan calon debitur pun bisa ikut terlibat berpura-pura dan tidak mengakui di depan. Padahal pasangan baik suami maupun istri bertindak pula sebagai penjamin dan wajib menandatangani akad kredit.

Pasangan tidak menyetujui memicu alih kredit ke nama orang lain 

Pengalaman empat tahun lalu,saat masih lebih banyak bertugas di lapangan ,saya menangani aplikasi seorang calon debitur laki -laki yang sedang bermasalah dengan pasangan, istilahnya pisah tanpa surat cerai atau pisah ranjang beberapa lama tapi masih tetap tinggal dalam satu rumah. Berada di posisi menggantung seperti itu lalu calon debitur berniat mengajukan kredit dimana status KTP dan KK masih belum berubah, tertulis di sana : kawin.

Saya duduk satu meja dengan bapaknya di rumahnya. Setelah bapaknya menandatangani berkas, saya meminta tolong agar istrinya juga menandatangani perjanjian kredit. Tunggu ditunggu, istrinya tidak keluar dari kamar juga. Bapaknya ke dalam kamar istrinya lalu balik lagi menemui saya

"Maaf, istri sedang sakit. Apa boleh saya bawa berkasnya ke dalam kamar untuk ditandatangani?" tanyanya

Jawabannya boleh, asalkan saya juga ikut karena saya harus mendokumentasikan (foto) bersama pasangan.

Bila suatu saat kontrak itu bermasalah dan pasangan debitur (istrinya) menyatakan tidak pernah bertandatangan, dokumentasi ini bisa sebagai bukti. Lagipula itu prosedur wajib di kantor. Akhirnya bapaknya keberatan dan berterus terang bila beliau sedang bermasalah dengan istrinya. Ujung-ujungnya ditawari, bagaimana kalau memakai nama saudaranya, nanti dia yang bertanggung jawab. Saya bilang tidak bisa lalu pamit pulang.

Malas mengurus persyaratan administrasi 

Kita mahfum untuk mengajukan kredit harus melengkapi persyaratan administrasi.Lembaga pemberi kredit itu perusahaan legal, terdaftar dan diawasi oleh OJK. Sebegitu legalnya makanya untuk memberi pinjaman ke masyarakat, calon debitur wajib melengkapi persyaratan administrasi. Masyarakat perlu tahu ada audit berkala ( per tiga bulan, enam bulan atau setahun sekali) di masing-masing internal pemberi kredit. 

Apanya yang diaudit? Iya itu, salah satunya adalah persyaratan administrasi yang bapak, ibu, tante, om, paman berikan ketika pengajuan kredit. Sanksi bagi PIC yang menangani kredit mulai dari yang ringan sampai stadium berat... alias di PHK #jangan sampai dah

Secara umum hampir sama di semua lembaga pemberi kredit: KTP elektronik, KK, surat keterangan usaha atau slip gaji/SK pegawai. Mengapa harus pakai itu? Karena hanya orang bekerja dan mendapatkan penghasilan secara rutin yang mampu membayar angsuran. Itu ada hitung-hitungannya. 

Untuk sebagian masyarakat yang bekerja dan gajinya ditransfer via rekening, terkadang diminta lampiran print out rekening tabungan. Untuk PH di atas 50 juta wajib melampirkan copy NPWP. Barang yang dijaminkan (rumah, kendaraan, dll) juga harus ada legalitasnya.

Nah sekarang mau tidak calon debitur melengkapinya? Bila tidak bersedia dan merasa ribet, salah satu solusinya adalah meminta tolong kepada saudara, teman, keluarga, tetangga bahkan atasan atau majikan untuk memakai KTP, KK dan data mereka sebagai calon debitur fiktif.

Tidak ingin data keuangan dan penghasilan nya diketahui

Beberapa calon nasabah tidak ingin data penghasilannya diketahui oleh orang lain, termasuk oleh pegawai atau karyawan pemberi kredit sehingga memilih lebih baik menggunakan nama orang lain. 

Kita mengerti bahwa ukuran besar kecil gaji atau take home pay setiap orang itu ranah pribadi. Tapi calon nasabah perlu tahu,untuk menganalisa kemampuan membayar cicilan dibutuhkan data jumlah penghasilan. Lagi pula, itu hanya digunakan untuk proses kredit. 

Seandainya ada potongan ini dan itu di slip gajinya, tidak masalah diserahkan saja. Toh tanpa diberitau, akan bisa terdeteksi di sistem. Saya salut sama nasabah yang jujur di depan punya cicilan sempat menunggak tapi sudah dilunaskan di tempat lain. 

Ujung-ujung nya tetap disetujui kreditnya. Karakter itu nomor satu. Bukankah mendapat pinjaman dari lembaga pemberi kredit itu artinya kita dipercaya? So, jagalah kepercayaan itu.

Membantu teman bisnis, siapa makan nangka siapa kena getahnya

Dalam menjalankan bisnis, tentu ada rekan bisnis. Jaringan pertemanan terbentuk. Namun bila tidak selektif, bukannya untung malah rugi. Seorang ibu berusia hampir enam puluh tahun, salah satu nasabah yang lancar cicilannya, datang ke kantor dan meminta bantuan. Punya bisnis usaha sayur dan toko sembako.

Beliau curhat ternyata dana yang dipinjam puluhan juta beberapa bulan lalu, bukan untuk usahanya melainkan untuk bantu modal rekan bisnisnya. Sudah kenal baik dan dianggap keponakan, kata ibunya.

Rencana mau dilunaskan setelah dua bulan jalan, tahunya malah menunggak. Jelek nama saya, minta bantuan Om sama -sama saya ke rumahnya untuk ngomong.

Pergilah kita bersama ke rumah rekan bisnisnya. Hasil pembicaraan akan dilunaskan semuanya. Namun lidah memang tidak bertulang. Dua bulan berjalan terus menunggak, malah angsuran yang tertunggak itu dibayarkan sama nasabah tersebut. Ujung -ujung nya mobil yang BPKB-nya dijaminkan itu dijual oleh ibu tersebut dan akhirnya lunas sisa pokok hutangnya. Parah!

Bagaimana bila sudah terlanjur? 

Bila kredit atas nama itu sudah terlanjur berjalan dan lancar pembayarannya sampai akhir masa kredit, patut disyukuri. Sekalipun telah lunas tapi tersendat-sendat, macet dikit padat merayap seperti lintasan kendaraan ke puncak saat libur natal kemarin, berarti lulus dengan catatan. Catatannya adalah jumlah hari keterlambatan di sistem tetap jadi riwayat pembayaran nasabah yang namanya dipakai.

Andai sudah terlanjur tapi belum lunas, cobalah saran-saran berikut... just suggestion ya:)

1. Berbicara dan ingatkan untuk bayar cicilannya tepat waktu

2. Mintalah tanggal jatuh tempo kepada kantor pemberi kredit agar mudah mengontrolnya juga

3. Tanyakan berapa denda per hari dan ingatkan kepada nasabah yang sebenarnya

4. Sampaikan dengan tegas konsekuensi yang akan diterima bila menunggak. Misal bila nasabah fiktif itu ajukan kredit untuk dirinya sendiri akan terkena BI checking atau plafon maksimal bisa diturunkan. Resiko terberat dapat pula ditolak, lebih -lebih bila jaminannya sudah di tarik atau disegel saking menunggaknya

5. Berikan pemahaman , bahwa hubungan persaudaraan, hubungan kekeluargaan, hubungan pertemanan bisnis dan hubungan - hubungan lain yang pada awalnya baik dan mesra, jangan sampai hancur dan rusak oleh karena kredit atas nama. Bukankah semangat dalam menjalani hidup salah satunya dikarenakan hubungan yang terjalin positif antara satu dengan yang lain?

Just sharing,

Sumbawa, 24 Desember 2018

Penulis : Adolf Isaac Deda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun