Jeda. Seperti biasa. Beberapa detik mengamplifikasi suara lingkungan.
“Aku bahkan meminta orang tuaku tidak memerlakukanku khusus lagi. Biar aku merasa menjadi remaja normal seperti biasa.” Lanjutnya.
Aku mengangguk. “Terkadang aku merasa yang biasa adalah yang tidak biasa.”
“Lucu Han. Dasar.” Jawabnya menyindirku. “Eh, hei, tumben kau tidak membawa apapun kesini.”
“Hmm... bosen, ya bosen aja baca buku terus, bisa mutasi lama-lama mataku.”
“hm? Tidak seperti kau bosen melakukan sesu...” Tiba-tiba ia terbatuk lagi. Kali ini lebih keras dan bahkan, darah encer keluar dari mulutnya.
Segera ku ambil kertas tisu yang biasanya aku kantongi. “Kamu menikmatinya eh?”
“Bukankah kita harus menikmati tiap detik hidup yang kita punya? Biarpun itu sakit.”
“Jika kau menikmatinya bukan sakit lagi namanya. Apa makna yang kau dapat dari sakit itu apabila itu sama saja dengan perasaan lain?”
“Hmm”. Ia diam sejenak, menatapku lekat. Bahunya kemudian terangkat singkat. “Mungkin. Kau tahu? Kemarin aku mencoba sholat, sekedar memenuhi rasa pensaranku sebelum hidupku berakhir.”
“Dan?”