Suara klakson terdengar keras di kejauhan. Sepertinya ada yang mengalami hal yang sama sepertiku. Jalanan semakin ramai, begitu pula taman kecil ini. Biru langit mulai dikikis oranye dari horizon. Posisi kami masih tidak berubah, duduk menatap kejauhan, membiarkan pikiran kami berkelana sementara percakapan tetap berjalan.
Aku menoleh sejenak. “Hey sa, apa yang kau rasakan?”
“Hmm? Pertanyaanmu itu ambigu. Perasaan ya banyak.”
“Maksudku yang berhubungan dengan keadaanmu.”
“Entah, perasaanku sudah hampir mati seperti tubuhku sepertinya. Semua perasan itu muncul akibat dari ketidakpastian hidup, dan sekarang takdir sudah jelas tertulis untukku. Sebuah kepastian.” Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Lagipula aku ingin menghadapi Tuhan dengan tenang, tidak dengan panik, atau perasaan apapun.”
“Jika memang kau akan bertemu dengan-Nya”
“Haha, apa salahnya berharap? Ia bisa menjawab semua pertanyaan-pertnyaanku.” Ia mendongak, beralih menatap langit. “Ada pernyataan menarik dari pembukaan sebuah buku : “Tuhan ada atau tidak ada, tak mesti jadi pernyataan, kerena niscaya anda tahu Tuhan sangat bisa anda lihat dengan jelas, dengan mata anda sendiri
“Dan tebak, Di saat akhir pembukaan buku-buku lain memberi ucapan selamat membaca, pada akhir pengantar buku tersebut malah tertulis “Berhentilah membaca, berlatihlah praktik, berupayalah mengalami”.
“Haha, kau menyindirku?”
Asa mengangkat bahu. “Aku tak mengatakannya.”
Tiba-tiba sepintas muncul sesuatu dalam pikiranku.