“Sebentar, butuh waktu untuk menyusun rangkaian peristiwa dengan baik. Memoriku tidak setajam gajah.”
***
Rumahku, yang selalu sepi.
Suara sepedaku memecah hening. Beberapa meter dari rumah, tanganku sudah menekan tuas rem.
Aku melihat ada yang sedikit aneh. Sebuah mobil yang cukup mewah terparkir di depan. Ada tamu. Sebenarnya jarang ibu atau bapak kedatangan tamu, apalagi yang kelas atas dengan mobil seperti ini. Selagi bertanya-tanya, ku tuntun sepedaku mendekat dan segera ku kunci.
Pintu terbuka. Tanpa pikir panjang, kakiku melangkah masuk.
Kebingunganku mengenai keberadaan mobil di depan rumah terjawab dengan apa yang ku temui di ruang tamu, walau akhirnya menimbulkan kebingungan lain. Bersama ibu, ada sekitar empat orang dewasa duduk rapi di kursi. Salah satunya memakai pakaian muslim, lengkap dengan peci di kepala. Yang ku kenali hanya satu, adik dari ibuku alias pamanku terlihat lebih tua sejak aku terakhir menemuinya beberapa tahun yang lalu. Meski terasa asing, aku merasa sepertinya yang lain juga keluarga ibu. Karena keadaan agama, jarang aku dapat menemui salah satu dari keluarga ibu ataupun bapak.
Semua mata mendadak beralih padaku yang masih berdiri di ambang pintu. Jeda. Hening.
“Umm... Assalamu’alaikum.” Aku berkata pelan.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Semua yang ada di dalam ruangan menjawab serempak.
“Statusnya kristen, tapi bisa juga mengucap salam.” Kata seseorang dengan pakaian muslim.