Menurut beliau, sistem tersebut menyebabkan kelemahan kekuasaan pemerintahan dan oposisi politik dengan kepala keluarga sebagai pemimpinnya (Kroef 1957 : 113). Istilah ini membuat Indonesia menderita karena menjadi kontra dengan semua kebijakan pemerintah. Kabinet yang tepat untuk Indonesia adalah kabinet gotong royong yaitu kabinet yang terdiri dari semua elemen rakyat, tidak seperti kabinet dalam demokrasi parlementer.Â
Selain itu, dalam pidato di sidang umum sebelumnya "Merah Putih" Soekarno memberikan petunjuk dan menceritakan ambisinya untuk mengambil bagian dalam pemerintahan sebelum majelis konstituante menyelesaikan konstitusi yang baru. Beliau juga mengatakan bahwa ia akan memberikan konsep yang bisa membuatnya untuk mengambil bagian dalam pemerintahan meskipun Indonesia masih menggunakan demokrasi parlementer. Salah satu dampak demokrasi parlementer atau liberal yaitu sistem pemerintahan Indonesia telah berubah pada tanggal 14 November 1945 dari sistem presidensialisme menjadi sistem parlementer, maka kedudukan Soekarno sebagai presiden berubah bukan sebagai kepala pemerintahan melainkan sebagai kepala negara. Jabatan kepala pemerintahan berada pada perdana menteri.Â
Berdasarkan hal tersebut yang membuat Soekarno menciptakan konsep demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan sebagai upaya Soekarno untuk mengembalikan legitimasi dan kewibawaannya sebagai presiden. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya penerapan demokrasi terpimpin yaitu:
Segi keamanannya = Ini karena sering terjadinya gerakan separatisme (yaitu suatu gerakan untuk memisahkan dirinya atau mendirikan negara sendiri. Bisa juga diartikan sebagai kelompok etnis atau kelompok identitas lain yang berupaya memisahkan diri dari suatu negara atau pemerintahan yang sah).Â
Segi ekonominya = Pergantian kabinet yang terlalu singkat pada sistem pemerintahan sebelumnya yang menyebabkan program-program yang telah dirancang tidak dapat berjalan dengan lancar. Hal ini menimbulkan efek serius terhadap pembangunan ekonomi yang terhambat.Â
Segi politiknya = Dewan konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.Â
    Karena hal tersebut, Soekarno mengusulkan kembali pemberlakuan UUD 1945. Sehingga diadakan pemungutan suara yang dilakukan oleh seluruh anggota konstituante demi mengatasi konflik yang sedang terjadi. Hasil dari pemungutan suara tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 269 orang setuju untuk kembali pada UUD 1945 dan sisanya 119 orang tidak setuju alias tetap ingin menggunakan UUDS 1950. Maka berdasarkan keputusan tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ditandai dengan pembubaran konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, tidak diberlakukan UUDS 1950, pembentukan MPRS, serta DPAS.Â
Bagi beliau, sistem Demokrasi Terpimpin merupakan suatu usaha untuk menata ulang politik dan pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Ini berlanjut sampai Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
     Maka dari itu, memang tujuan Presiden Soekarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin ini adalah untuk mengakhiri fungsi parlemen, kabinet, hingga masa sistem parlementer usai pembubaran RIS. Pasalnya, ketika RIS terbentuk, kondisi politik Indonesia cenderung kurang stabil.
2.2 Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Beberapa kebijakan yang diambil Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin: yaitu, membubarkan Partai Masyumi dan PSI pada tahun 1960 karena menilai sebagian tokoh partai tersebut terlibat dalam pemberontakan daerah tahun 1957-1958 dan juga karena mereka beroposisi dengan Soekarno. Untuk menyeimbangkan kekuatan tentara, Soekarno memanfaatkan pengaruh yang terbatas dari partai-partai yang masih ada, terutama sekali PKI yang memiliki basis massa yang luas serta terorganisir dengan baik. PKI melihat bahwa kolaborasinya dengan Soekarno berarti perlindungan dari tentara yang melihat PKI sebagai musuh. PKI juga berharap dapat berpartisipasi di dalam kabinet (Redfern 2010: 46).