"Selamat tinggal, Keiko."
Barangkali itulah kata-kata terakhir yang bisa kuucapkan kepadanya. Aku turun mengambil sebuah botol. Sewaktu aku membuka tutupnya, tercium bau bensin yang menyengat.
Aku pun melumeri tumpukan kayu itu dengan bensin, menyalakan korek gas, lalu membakarnya.
Seketika, tumpukan kayu itu menjelma api unggun raksasa. Nyalanya terang benderang "mengusir" kegelapan malam.
Betapa pedihnya kalau kita harus berpisah dengan orang yang dicintai! Kini, aku meresapi betul perasaan Kimshin sewaktu dia ditinggal mati Ji Eun-tak!
Namun, tiba-tiba saja, aku mendengar suara jerit kesakitan Keiko. Tubuhnya pastilah melepuh terpanggang api sehingga ia mengerang sedemikian keras!
"Keiko!" Aku berteriak, tapi teriakanku hanya dijawab oleh deru ombak yang terdengar samar.
Aku tak tahan menyaksikan penderitaannya, sehingga secara reflek, aku berlari menuju kobaran api.
"Apa yang kau lakukan!" Istriku berteriak berusaha menghentikanku. Namun, aku mengabaikannya.
Bagiku, ia adalah tembok yang sejak dulu memisahkan aku dan Keiko. Sebuah batasan yang harus aku jebol agar aku bisa bersama Keiko lagi!